Jumat, 05 Oktober 2012

Cara Ulama Mendamaikan Bangsa


Kehidupan damai, rukun, guyub, saling membantu di masyarakat tingkat bawah antara yang anti PKI dan yang PKI sudah berjalan nyaris tanpa kikuk. Sebab, dendam di masyarakat tidak parah, mereka tidak paham politik.

Selain itu, mereka saling tahu kehidupannya sehar-hari, karena bertetangga.

Demikian disampaikan Rais Syuriyah PBNU KH Saifuddin Amsir pada NU Online, Rabu (3/9), di ujung telepon. Menurutnya, "Tingkat masyarakat bawah relatif tidak bermasalah, mereka tidak banyak tahu politik."

Lalu Kiai Saifuddin bercerita bahwa jama'ah pengajiannya tahun 80an sampai 90an banyak bekas anggota PKI. "Ngaji mereka. Ngurus mesjid mereka. Habis ngaji, namanya orang Betawi, ya makan bareng, ngobrol gayeng," ujar Kiai Saifuddin.

Menurut pengakuannya, ketika orang luar menyerbu PKI yang ada di kampungnya, dengan alasan kemanusiaan, warga kampung membendungnya. Kampung kiai yang sehari-hari padat dengan mengisi pengajian ini adalah Kebon Manggis-Matraman, sebelah Berlan, masuk wilayah Jakarta Timur. Di kampung itulah dirinya dilahirkan, pada tanggal 31 Januari 1955.

"Saya masih ingat, ibu-ibu di kampung saya, ketika ada penyerbuan berteriak-teriak, 'jangan dilempari itu, jangan dilembari itu. Itu orang baik, itu orang baik'. Terbendung juga itu orang-orang, tidak nerusin nyerbu. Terbendung oleh suara ibu-ibu. Ini suara kemanusiaan."

"Saya mau cerita lagi. Tetagga saya orang PKI, namanya Bebas Pati Mulya, aslinya Medan, agamanya Kristen, punya anak nakal ndak ketulungan. Duit orang tuanya dicuri, pulang malam. Pokoknya nakal sekali. Itu Pak Bebas ngundang kami, untuk tahlilan dan mendoakan agar anak itu jadi bener. Dan namanya diganti tuh, jadi Muhammad Soleh. Ya kami datang."

"Yang ingin saya katakan adalah, secara kemanusiaan tanpa diminta pun para warga sudah saling memaafkan. Banyak hal yang kami lakukan. Itu upaya warga melakukan rekonsiliasi. Itu perintah agama."

Namun, Kiai Saifuddin Amsir menyatakan dengan tegas bahwa Partai Komunis Indonesia tidak bisa dimaafkan secara politik. "Sudah betul itu PKI ditumpas. Jangan sampai hidup lagi. Trauma kita. Untuk perdamaian bangsa, ubah saja pikiran, bangun satu sikap baru. Pandang ke depan, jangan ada sejarah macam begitu. Kalau saling memaafkan, jangan. Jangan sampai ada. PKI itu terjepit saja bisa berkelit, apalagi diberi jalan."

Saifuddin masih ingat, betapa pahitnya omongan Aidit yang bilang ulama itu tanpa kerjaan, kitabnya yang banyak, yang bisa buat bendung kali Ciliwung tidak berguna, Indonesia tak butuh ulama.

"Siapa yang ndak sewot dihina-hina begitu? Lha Jangankan kite orang pesantren, kan Mochtar Lubis saja dongkol saat Pram dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay tahun 1995. Mochtar kan sempat mau banting penghargaan yang sama yang lebih awal diterimanya. Tidak main-main PKI. Mereka punya semboyan rawe-rawe rantas malang-malang putung," ujarnya.

Bisa dipahami jika Saifuddin tidak rido pada PKI. Bagaimana tidak, partai berlambang palu-arit itu menghina para ulama yang mendidikan dirinya sedari kecil. Ia sangat dekat dan mencintai para gurunya yang antara lain Muallim Abdullah Syafi’i, Muallim Syafi’i Hadzami, Habib Abdullah bin Husein Syami Al-Attas, dan Guru Hasan Murtoha. Dan bapaknya, Amsir Naiman, sendiri adalah guru ngaji di Kebon Manggis.

Saifuddin kecil menyaksikan bahwa PKI mengancam orang-orang Islam di Jakarta secara terbuka, bahkan dia melihat sumur-sumur sudah dipersiapkan di sanggar Lekra yang ada di kampungnya.

"Kampung saya kecil, tapi itu sanggar terbesar Lekra di Jakarta dipimpin langsung Profesor Bakri Siregar. Di sanggar mereka memang membuat sumur. Saya melihat sendiri. Anak-anak muda dari pelbagai kampung dilatih secara militer."

Saifuddin mengenang, anak-anak muda, khususnya perempuan, dilatih sebisa mungkin untuk menari. Pelatihnya dari Ansor. Lagunya berjudul "Mencuci Pakaian" yang diciptakan oleh bapaknya: Amsir Naiman. Makna lagu tersebut adalah orang harus mencuci dirinya dari kotan-kotoran yang disebarkan orang-orang PKI.

Menari merupakan kegiatan yang jauh dari kehidupan sehari-hari warga Kebon Manggis, yang biasanya hanya mengaji. Tapi mereka melakukannya agar bisa melawan tarian dan nyanyian seniman Lekra yang punya kekuatan Prof Bakri Siregar, yang seniman betulan.

Saifuddin bangga anak-anak kampungnya yang bukan seniman bisa melawan Lekra yang seniman. Dia juga senang Orde Baru mampu menyabet PKI secara tuntas. Tapi dia menyayangkan, sabetan Soeharto mengenai banyak sembarang orang.

Lulusan IAIN Ciputat jurusan Akidah dan Filsafat itu memberi catatan, "Anak PKI yang tidak mengerti PKI mendapatkan hukuman berat juga. Orang-orang yang cuma ikut-ikutan kena juga. Kasihan mereka. Pak Harto tidak cermat. Pak Harto pakai juga tuh semboyan PKI rawe-rawe rantas malang-malang putung."

Cara Ulama
Wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Daerah Istimewa Yogyakarta M. Jadul Maula menyatakan bahwa perdamaian bangsa ini dapat terlaksana dengan cara dan ilmu ulama.

"Jalan dengan cara ulama adalah memutus mata rantai dendam kebencian dan kekerasan. Menyiram api amarah dengan air dingin yang menyejukkan, berupa iman kepada Allah Yang Maha Kuasa. Begitulah cara dan ilmu ulama menyelesaikan konflik antarsesama," terang M. Jadul Maula, saat dihubungi NU Online melalui telepon, Rabu (3/10).

Dia menyebutkan, jalan dan cara para ulama adalah mengikuti Rasulullah.

"Ketika beliau (Rasulullah, red.) sebagai pemimpin tertinggi umat, di dalam masjid berbicara langsung pada rakyat 'adakah di antara kalian yang hak-haknya telah aku ambil dan tidak rela? Silakan ambil kembali hak itu dan hukum qishos aku, supaya aku dapat menemui Tuhanku, terbebas dari belitan beban hak-hak anak Adam'. Itu teladan panutan kita dalam menyelesaikan urusan dengan sesama. Kita wajib mengikutinya," papar Jadul yang juga pengasuh Pesantren Kaliopak, Bantul.

Jiwa bangsa ini, tegas Jadul, perlu dikembalikan lagi pada jalan rahmat atau kasih sayang, jiwa yang takut melanggar, dan mengambil hak-hak orang lain. "Menurut para ulama kita, tujuan mendirikan bangsa adalah juga untuk menjaga hak-hak manusia tersebut. Itu yang kita kenal dengan al-masholihul 'ammah, kemaslahatan-kemaslahatan umum. Inilah bagian dari khittah Indonesia 1945 yang kita suarakan di Munas Cirebon itu," tegasnya.

Khusus terkait PKI, Jadul berpendapat bahwa peristiwa 65 serta rangkaian sebelum dan sesudahnya, telah merenggut paksa keseluruhan masholih itu, dan ironisnya pemerintah tidak bisa menjaganya. "Para ulama NU yang ikut mendirikan negara ini, saya yakin menangisi keseluruhan peristiwa 65 tersebut. Karena betapapun, korban-korbannya adalah semua, NU korban, juga saudara-saudara sebagangsa," ujarnya.

"Gus Dur ketika minta maaf atas persitiwa 65, saya yakin mewakili spirit ulama, dan beliau kan ulama juga, spirit para pendiri bangsa dan ingin mengembalikan jiwa bangsa pada fitrahnya, menegakkan kembali negara atas tujuan pendiriannya. Dasarnya rahmat, tujuannya adalah kesejahteraan seluruh rakyat, terlindunginya kemaslahatan bersama,"

Ketika ditanya soal tentang para aktivis PKI, dia menjawab, "Apa PKI masih ada? Kalau masih ada, mereka juga harus meminta maaf. Jangan bilang PKI tidak bersalah. Peristiwa Madiun 1948 itu PKI. Kita harus saling meminta maaf dan memaafkan."

"Mari, semua elemen bangsa mencontoh Gus Dur yang telah minta maaf sebagai pemimpin agama atau ulama, dan sebagai pemimpin bangsa. Dengan meminta maaf, yang tampak dari Gus Dur adalah kebenaran, kekuatan dan kebesarannya," pungkasnya.

Bebaskan Koruptor dari Tanggungan Akhirat!


Selain merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor kambuhan dan koruptor kelas kakap, Musyarawah Nasional (Munas) Alim Ulama NU 2012 di Cirebon (14-18 September) juga mengingatkan agar dana hasil korupsi dikembalikan kepada negara, meskipun pelakunya telah meniggal dunia.

Pada komisi bahtsul masail diniyyah al-waqiiyyah, para kiai dan ahli fikih dari berbagai daerah membahas pertanyaan dari masyarakat mengenai ”bagaimanakah hukum memeriksa kekayaan yang diduga hasil korupsi, sedangkan tersangka pelaku telah meninggal dunia?”

Berdasarkan berbagai penjelasan dan argumentasi yang dikutip dari para ulama madzab dalam berbagai referensi kitab kuning, Munas memutuskan bahwa memeriksa kekayaan yang diduga hasil korupsi adalah wajib, meskipun tersangka pelaku telah meninggal dunia.

Mengutip penjelasan dari kitab Az-Zawajir Aniqtirafil Kabair yang antaralain menjelaskan mengenai dosa-dosa besar, disebutkan bahwa dosa-dosa manusia (anak Adam) tidak akan terampuni jika dia masih mempunyai tanggungan di dunia atas hak-hak orang lain (haqqul adami), dalam hal ini berkaitan dengan harta korupsi.

Pesan ini terutama ditujukan kepada para ahli waris. Bukan saja pewaris yang meninggal dunia tersebut masih mempunyai beban dosa di akhirat, namun harta benda yang akan diwarisi oleh para ahli waris juga merupakan harta yang haram.

”Apabila terpenuhi bukti bahwa harta tersebut adalah hasil korupsi, maka wajib dikembalikan kepada negara dan untuk membersihkan harta warisan dari harta haram,” demikian keputusan Munas.

Para ahli waris bukan saja diingatkan untuk mendoakan agar dosa-dosa yang meninggal dunia terampuni, tetapi harus menyelesaikan tanggungannya selama ia hidup.

Dalam bahtsul masail itu, para kiai juga membahas, ”apakah hasil korupsi wajib dikembalikan seluruhnya meskipun telah ditetapkan hukuman bagi pelakunya?”

Jawabannya: Seluruh harta hasil korupsi wajib dikembalikan ke negara meskipun pelaku telah menjalani hukuman.

Selasa, 02 Oktober 2012

Menghianati Pancasila dan NKRI adalah Tindakan Bughat



Hari kesaktian pancasila adalah sebutan untuk mengingatkan bangsa Indonesia akan tragedy sejarah penghianatan bangsa yang dilakukan oleh suatu kelompok yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar Negera Kesatuan Republik Indonesia dengan komunisme sebagai dasar Negara Indonesia. Momentum ini seharusnya menjadi pelajaran bagi segenap bangsa bahwa segala upaya penggantian dasar NKRI dan usaha menyingkirkan Pancasila merupakan sebuah tindakan penghianatan terhadap bangsa. Dan dengan ‘kesaktian’-nya, Pancasila akan menindak tegas hal tersebut. Karena Pancasila dengan segenap butir-butirnya merupakan hasil kesepakatan bersama para pendiri Negara Indonesia yang telah disesuaikan dengan karakter bangsa dan telah terbukti hingga kini .

Dengan demikian uapaya penggantian Pancasila dengan ideologi lainnya apapun (namanya) merupakan bentuk perlawanan kepada pemerintah Indonesia yang sah. Sebagaimana termaktub dalam الإمــامــة الــعــظــمـى عند اهل السنة والجماعة

ذَهَـــبَ غَــالِــبُ أهْـــلِ الــسُّــنـَّـةِ وَالــجَــمَــاعَــةِ إلَـَى أنـَّــهُ لا يَــجُــوزُ الــخُـــرُوجُ عَــلـَـى أئِــمَّــةِ الــظُّـلْــمِ وَالــجَــوْرِ بِــالــسَّــيْــفِ مَــا لـَـمْ يَـصِــلْ بِــهِــمْ ظُــلـْـمُــهُــمْ وَجَـــوْرُهـُـمْ إلـَى الـكـُـفْــرِ البـَـوَاحِ أوْ تـَـرْكِ الــصَّــلاةِ وَالــدَّعـْـــوَةِ إلـَـيــهَــا أوْ قِــيـَـادَةِ الأُمـَّـةِ بِــغـَـيْــرِ كِــتـَـابِ اللهِ تـَــعــالـَى كـَـمـَـا نـَـصَّــتْ عَــلَــيــهـَـا الأحَــادِيــثُ الــسَّــابِـــقـَـةُ فَِــي أسْــبَــابِ الــعَـــزْلِِ

Mayoritas golongan ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membangkang terhadap pemimpin-pemimpin yang dhalim dan menyeleweng dengan jalan memerangi selama kedhaliman dan penyelewengannya tidak sampai kepada kekufuran yang jelas atau meninggalkan shalat dan da’wah kepadanya atau memimpin umat tanpa berdasarkan kitab Allah sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits yang sudah lalu dalam menerangkan sebab-sebab pemecatan imam.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, jika membangkang dari pemerintahan yang dhalim saja tidak boleh apalagi membangkan dari pemerintah Indonesia yang sah dengan mengganti pancasial yang telah terbukti mengamankan bangsa ini dari perpecahan dan pertikaian.

Walaupun usaha penggantian itu bertujuan menjadikan Indonesia lebih baik. Karena sesungguhnya tujuan menjadi lebih baik itu masih bersifat wahm (asumsi) , sedangkan keadaan yang baik ini yang sudah berjalan hingga kini (dari 1945-2012) bersifat pasti. Maka berlakulah kaedah dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Apalagi jika penggantian itu dipastikan membawa keburukan. Demikian diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadir Audah dalam al-Tasyri’ al-Jina’

ومع ان العدالة شرط من شروط الامامة الا ان الرأي الراجح في المذاهب الاربعة ومذهب الشيعة الزيدية هو تحريم الخروج على الامام الفاسق الفاجر ولو كان الخروج للامر بالمعروف والنهي عن المنكر لان الخروج على الامام يؤدي عادة الى ماهو انكر مما فيه وبهذا يمتنع النهي عن المنكر لان مشروطه لايؤدي الانكار الى ماهو انكر من ذلك الى الفتن وسفك الدماء وبث الفساد واضطراب البلاد واضلال العباد وتوهين الامن وهدم النظام

Memang sikap adil merupakan salah satu syarat-syarat menjadi imam / pemimpin, hanya saja pendapat yang  egar (unggul) dalam kalangan madzhab empat dan madzhab Syi’ah Zaidiyyah mengharamkan bertindak  egar terhadap imam yang fasik lagi curang walaupun  egar itu dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Karena  egar kepada imam biasanya akan mendatangkan suatu keadaan yang lebih munkar dari pada keadaan sekarang. Dan sebab alasan ini maka tidak diperbolehkan mencegah kemungkaran, karena persyaratan mencegah kemungkaran harus tidak mendatangkan fitnah, pembunuhan, meluasnya kerusakan, kekacauan  egara, tersesatnya rakyat, lemah keamanan dan rusaknya stabilitas.

Bahkan dalam literatur fiqih usaha pembinasaan Pancasila sebagai dasar Negara sah Republik Indoneia dapat dikategorikan sebagai tindakan pembangkangan bughot. Yaitu menyalahi imam (pemerintah) yang adil dengan cara memberontak dan tidak menta’atinya serta menolak segala perintahnya. Demikian diterangkan dalam Kifayatul Akhyar


NAMA BARU SETELAH HAJI
Diantara tradisi yang berlaku di masyarakat kita dalam ibadah haji adalah nama baru yang ‘didapat’ dari tanah suci. Nama baru ini tentunya sangat islami dan berbau Arab. Misalkan Abdul Rasyid atau Rasyidah sebagai nama pengganti Sugiarmo atau Supangati. Sebenarnya perubahan nama ini tidak harus dilakukan setelah menjalankan ibadah haji, bisa kapan saja waktunya. Akan tetapi sebagaian masyarakat lebih senang menjadikan ibadah haji sebagai momentum perubahan nama. Dengan harapan meningkatkan semangat peribadatan.

Dalam pandangan fqih perubahan nama itu adakalanya wajib, sunnah dan atau mubah. Perubahan nama bisa menjadi wajib apabila namanya yang selama ini digunakan terlarang (haram), seperti Abdusysyaithan (hamba setan) atau Abdul Ka’bah. Dan hukumnya sunnah, apabila namanya yang sudah ada itu makruh (dibenci), seperti nama Himar, Monyong, dan Pencor.  Dan adakalanya hukumnya mubah apabila namanya itu tidak haram, juga tidak makruh semisal Sani, Midi dan lain sebagainya. Sebagaimana diterangkan dalam Tanwir al-Qulub

وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمُحَرَّمَةِ وَيُسْتَحَبُّ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمَكْرُوْهَةِ.

Mengubah nama-nama yang haram itu hukumnya wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunah.

Demikian juga disebutkan dalam Hasyiyah al-Bajuri

وَيُسَنُّ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ لِخَبَرِ أَنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ أَبَائِكُمْ فَحَسِّنُوْا أَسْمَائَكُمْ إِلَى أَنْ قَالَ: وَتُكْرَهُ اْلأَسْمَاءُ الْقَبِيْحَةُ كَحِمَارٍ وَكُلِّ مَا يُتَطَيَّرُ نَفْيُهُ أَوْ إِثْبَاتُهُ وَتَحْرُمُ التَّسْمِيَّةُ بِعَبْدِ الْكَعْبَةِ أَوْ عَبْدِ الْحَسَنِ أَوْ عَبْدِ عَلِيٍّ وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلاسْمِ الْحَرَامِ عَلَى اْلأَقْرَبِ  لِأَنَّهُ مِنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ تَرَدَّدَ الرَّحْمَانِيُّ فِيْ وُجُوْبِهِ وَنَدْبِهِ .

Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan Hadis: “Kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguskanlah nama-nama kalian”. Dimakruhkan nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya .. Haram menamai dengan Abdul Ka’bah, Abdul Hasan atau Abdu Ali (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan atau Hamba Ali). Menurut pendapat yang lebib benar wajib mengubah nama yang haram, karena berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun al-Rahmani ragu-ragu apakah mengubah nama demikian, wajib atau sunah.

ADZAN BERANGKAT HAJI

Rupanya tidak begitu lazim adzan disuarakan di kala ada seorang yang mau berangkat haji. Akhir-akhir ini yang dilakukan oleh calon jamaah haji ialah pamit sana sini, ke semua sesepuh, para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, kira-kira satu minggu sebelum hari keberangkatan.

Bahkan ada yang menyelenggarakan pengajian akbar dengan mendatangkan muballigh/kiai di luar daerah. Maksudnya tidak lain adalah berpamitan dan minta maaf kepada saudara seiman sehubungan akan keberangkatannya pergi ibadah haji. Akan tetapi biasanya orang NU membuat acara demikian: pengantar protokolir, sambutan, doa calon jamaah haji, penutup dan adzan untuk keberangkatan.

Adzan yang dikumandangkan orang NU ni bberdasarkan pada, pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 hlm 23 berikut ini:

قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية

"Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat."

Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama:

فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا – قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات ... الخ

"Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar."

Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36:

من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي

"Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi."

Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36.

Kamis, 27 September 2012

Haji Arisan


Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Haji sudah menjadi cita-cita umat Islam pada umumnya. Maka, akhirnya banyak yang ingin menjalankan ibadah haji meski dengan segala risiko dan dengan menempuh cara apapun. Soalnya ibadah yang dilakukan di tanah suci sangat utama dibanding di tempat-tempat lainnya. Kerinduann untuk datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun. Ya, karena ibadah haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.

Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin setiap bulannya. Lalu, pada setiap tanhunnya, uang yang telah dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk berhaji, kemudian pada tahun berikutnya giliran yang lainnya. Bagaimana kedudukan haji seperti ini? Lalu bagaimana jika Ongkos naik haji (ONH) berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan biaya yang berbeda pula?

Masalah pertama yang diangkat disini adalah soal persyaratan adanya “istitho’ah” atau kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Bahwa orang Islam yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji atau “syarat wajib haji” adalah hanya ketika seseorang telah berkemampuan. Lalu bagaimana dengan haji yang dilakukan oleh mereka yang tidak berkemampuan?

Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H / 25 – 28 November 1989 M lalu menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istithoah tetap sah hukumnya.

فَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَطِيْعاً لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَجُّ لَكِنْ اِذَا فَعَلَهُ أَجْزَأَهُ

Barangsiapa yang belum memenuhi syarat istitoah maka tidak wajib baginya berhaji, namun jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan, sebagaimana dalam kitab Asy Syarqowi I, hal. 460.

Orang yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia termasuk mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap melakukan shalat Jum’at, padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.

فَيُجْزِئُ حَجُّ الْفَقِيْرِ وَكُلُُّ عَاجِزٍ حَيْثُ اجْتَمَعَ فِيْهِ الْحُرِّيَّةُ وَالتَّكْلِيْفُ كَمَا لَوْ تَكَلَّفَ الْمَرِيْضُ حُضُوْرَ الْجُمْعَةِ

Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia termauk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal dan baligh) sebagaimana sah orang yang sakit memaksakan diri untuk melakukan shalat Jumat. Demikian seperti dikutip dari kitab Nihayatul Muhtaj III, hal. 233.

Soal haji arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal. 208. Ada kelompok wanita di Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka, maka yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.

Lalu, bagaimana dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah dan cenderung naik, bagaimana setorannya?

Musyawirin memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) yang dipergunakan oleh anggota arisan sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Akda pinjam-meminjam secara syar’i adalah memberikan hak milik sesuatu dengan menggembalikan penggantinya yang persis sama dengan yang dipinjamnya.

Maka jika suatu saat ONH mengalami kenaikan, bisa jadi setoran arisan dinaikkan sesuai kesepakatan anggota. Atau bisa jadi setoran haji tetap seperti semula namun pemberangkatan salah seorang anggota menunggu sampai uang arisan haji yang terkumpul sudah mencukupi.

Dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masing-masing anggota bisa berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung sebagai pinjaman dan jika salah seorang dari anggota (yang telah berhaji) meninggal dunia, maka setoran haji menjadi tanggungan ahli warisnya, sampai semua kelompok arisan bisa diberangkatkan haji.

Mana Lebih Afdhal, Haji Kesekian Kali atau Bersedekah?


Seperti kita ketahui bersama bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam, sebagaimana sholat dan zakat. Setiap orang yang sudah muslim yang mampu wajib melaksanakannya. Perhatikan Ali Imrah ayat 97 “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Haji sendiri fardhunya sekali dalam seumur hidup. Adapun haji selanjutnya sunnah hukumnya. Lantas lebih utama mana melaksanakan pengulangan dalam ibadah haji dengan amal atau shodaqah yang mempunyai fungsi sosial jauh lebih luas? semisal pembangunan madrasah, pembangunan jembatan atau mushalla.Memang banyak tipe manusia, bermacam rupa pola pikirnya. Ada yang telah mampu dan memenuhi syarat haji tetapi tidak juga melaksanakan kewajibannya. Ada yang –sebenarnya- belum memenuhi syarat dan belum mampu, tetapi memaksakan diri untuk melaksanakannya. Dan adalagi yang telah menunaikan haji tetapi merasa belum puas sehingga mengulang lagi melaksanakan haji untuk yang kedua kali atau yang kesekian kalinya.

Sedangkan orang yang berulang-ulang pergi haji juga bermacam-macam motifnya. Ada yang merasa haji pertamanya tidak sah sebab tidak memenuhi rukunnya, sehingga memerlukan pergi haji lagi guna mengqadhanya. Ada pula haji yang kedua untuk menghajikan kedua orang tuanya. Ada pula yang beralasan kurang puas dengan haji yang pertama. Jika alasannya ‘puas-tidak puas’ tentunya ini berhubungan dengan kemantapan di hati. Entah merasa kurang khusu’ atau memang merasa ketagihan dengan pengalaman bathin ketika haji pertama. Memang perlu dicatat banyak sekali haduts yang menerangkan keutamaan haji misalnya:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة (متفق عليه)

Rasulullah saw bersabda: Umrah ke umrah itu menghapus dosa antar keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surge.(Muttafaq Alaih) dan masih banyak lagi hadits semacam ini.

Jika demikian, pertanyaa lebih afdhal mana menggunakan dana untuk mengulang haji dan amal yang bermanfaat umum? Jawabannya tergantung dari mana sudut pandangnya. Karena masing-masing memiliki dalil fadhilah, dan keduanya bisa dibenarkan. Namun hendaknya perlu dipertimbangkan satu kaedah fiqih yang berbunyi:

المتعدى أفضل من القاصر

Amal yang mberentek (manfaatnya meluas) lebih afdhal dari amal yang terbatas.

Artinya, amal yang jelas-jelas memiliki manfaat lebih luas lebih afdhal dari pada amal yang hanya memuaskan diri sendiri. Oleh karena itu Imam Syaf’ir pernah berujar “menuntut ilmu lebih utama dari pada sholat sunnah”. Dengan kata lain menuntut ilmu yang manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak, lebih utama dari pada sholat sunnah yang pahalanya hanya dirasakan untuk individu.

Meski demikian, namanya juga manusia sering kali terkalahkan oleh ego pribadinya. apalagi jika ia memiliki legitimasi dalil keagamaan ataupun dalil social yang lain. Seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan ini adanya di dalam hati. Karena banyak sekali orang yang mementingkan diri sendiri. Yang penting dirinya masuk surga tak peduli saudara dan tetangga masuk neraka. Seperti halnya mereka yang tega kenyang sendiri sementara tetangga dan keluarga lain kelaparan.

sumber: Fiqih Keseharian Gus Mus

5 Rahasia Shalat Maktubah


Shalat adalah ibadah terpenting bagi seorang muslim. Shalat menjadi tolak ukur kesalehan seseorang. Bahkan shalat merupakan amal kunci bagi segala amal lainnya. Meski demikian jarang sekali orang mengerti bahwa masing-masing waktu shalat yang lima itu mengandung hikmah dan memiliki sejarah masing-masing.Shalat Subuh adalah shalat pertama kali yang dilakukan oleh Nabi Adam As. Dua rakaat Subuh dijalankan oleh Nabi Adam di bumi setelah diturunkan dari surga. Waktu itu pertama kalinya Nabi Adam melihat kegelapan. Begitu gelapnya sehingga ia merasakan ketakutan yang amat sangat. Namun kemudian kegelapan itu secara lamban mulai sirna mengusir rasa takut, dan perlahan terbitlah terang. Itulah pergantian waktu malam menuju pagi. Oleh karenanya, dua rakaat Subuh dilaksanakan sebagai rasa syukur atas sirnanya kegelapan pengharapan atas datangnya kecerahan.

Nabi Ibrahim As adalah orang pertama yang melaksanakan shalat Dhuhur. Empat rakaat dhuhur dilaksanakan, ketika Allah menggantikan Ismail yang rencananya disembelih sebagai kurban dengan seekor domba. Ini terjadi tatkala siang, tatkala matahari bergeser sedikit dari titik tengahnya. Empat rekaat itu menunjukkan beberapa perasaan Nabi Ibrahim. Satu raka’at adalah penanda kesyukuran atas digantikannya Ismail. Satu reka’at karena kegembiraan, satu raka’at untuk mencari keridhaan Allah dan satu raka’at lagi sebagai rasa syukur atas domba pemberian Allah swt.

Kemudian riwayat shalat Ashar berhubungan erat dengan Nabi Yunus As. ketika diselamatkan oleh Allah dari perut ikan Hut. Hut adalah nama ikan yang menelan nabi Yunus mengarungi lautan. Dikisahkan bahwa bentuk ikan hut hampir menyerupai burung, namun tanpa sayap. Ketika di dalam perut hut itu Nabi Yunus As merasakan empat macam kegelapan, gelap karena kekhawatiran hasya, gelap di dalam air, gelap malam dan gelap di dalam perut ikan. Demikianlah Nabi Yunus As keluar ketika matahari mulai condong kebarat dan shalatlah beliau empat rekaat sebagai penanda tebebas dari empat macam kegelapan itu.

Sedangkan tiga rakaat shalat Maghrib mempunyai sejarahnya sendiri yang tiak bisa dilepaskan dari nabi Isa As. ketika berhasil keluar dari kaumnya di penghujung senja. Tiga rakaat sangat bermakna bagi Nabi Isa As. Satu rakaat menandai perjuangan beliau menegakkan tauhid dan menafikan semua bentuk sesembahan keculai Allah. Satu raka’at untuk menafikan hinaan dan tuduhan kaumnya atas ibundanya yang melahirkannya tanpa ayah. Dan ini sekaligus menunjukkan betapa ketuhanan itu hanya milik Allah semata yang Maha Kuasa, inilah makna satu rekaat yang terakhir.

Dihilangkannya empat kesedihan yang menimpa Nabi Musa As. oleh Allah swt ketika meninggalkan kota Madyan menjadi sejarah ditetapkannya shalat Isya empat rekaat. Tercatat empat kesedihan itu berhubungan dengan istrinya, saudaranya yang bernama Harun, anak-anaknya, dan kesedihan karena kekuasaan Fir’aun. Dan ketika semua kesedihan itu diangkat oleh Allah swt di waktu malam, Nabi Musapun melaksanakan shalat empat rakaat sebagai rasa syukur atas segalanya.

Demikianlah semua hikmah yang melatar belakangi lima shalat fardhu yang diwajibkan kepada semua orang muslim hingga kini sesuai dengan tuntunan syariah.


Sumber  : Syarah Sulamun Najah


Minggu, 23 September 2012

Sunan Ampel Restui Berdirinya NU


Para ulama pendiri NU jelas bukan sembarang ulama. Mereka orang-orang khos yang memiliki kualitas keimanan yang luar biasa di zamannya.

Salah satu pendiri jam'iyyah Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahab Hasbullah, selain pendirian NU kepada kepada KH Hasyim Asy'ari, beliau meminta persetujuan waliyullah tanah Jawa. Yaitu Kanjeng Sunan Ampel.

Dituturkan salah satu putra Mbah Wahab, KH Hasib Wahab, ayahnya itu menulis surat kepada Sunan Ampel dalam Bahasa Arab. Surat tidak dilipat tapi digulung seperti nawala di zaman kerajaan kuno. Lalu dibungkus kain terus dimasukkan ke dalam makam Sunan Ampel di Surabaya.

"Mbah Wahab bilang ke beberapa kyai dan pendereknya, jika surat itu dalam tiga hari hilang dari tempat dia memasukkan, berarti Sunan Ampel merestui berdirinya NU," ujar penerus Kiai Wahab mengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang ini. Dia ceritakan kala diwawancarai di sela sarapan pagi di lokasi Munas & Konbes NU di Ponpes Kempek Palimanan Cirebon, Ahad (16/9).

Tutur Kiai Hasib, setelah tiga hari memasukkan surat tersebut, Mbah Wahab ziarah lagi ke makam Sunan Ampel. Malah membawa rombongan lebih banyak. Ternyata nawala tersebut tak berada di tempatnya lagi. Akhirnya Kiai Wahab mantab, lalu pulang dan segera menemui KH Hasyim Asy'ari agar segera mendeklarasikan berdirinya NU.

"Suratku wis diterima Kanjeng Sunan Ampel. Berarti direstui untuk melanjutkan dakwah Islam di Nusantara, " ujar Kiai Hasib menirukan ucapan ayahnya yang dia dengar dari penuturan sahabat Mbah Wahab yang pernah bercerita kepadanya.



Menyiram Air dan Karangan Bunga di Kuburan


Banyak sekali ragam tradisi yang berhubungan dengan ziarah kubur. Mulai dari mengaji al-Qur’an, tahlil, yasinan hingga menyirami pusara dengan air. Tentang dasar hukum berbagai tradisi tersebut telah sering disebutkan dalam rubrik ubudiyah. Kali ini redaksi akan menerangkan dasar hukum menyiram kuburan dengan air dingin atupun air wewangian.Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menerangkan bahwa hukum menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnah. Tindakan ini merupakan sebuah pengharapan –tafaul- agar kondisi mereka yang dalam kuburan tetap dingin.

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)

Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum.
Begitu pula yang termaktub dalam al-Bajuri

...ويندب أن يرش القبر بماء والأولى أن يكون طاهرا باردا لأنه صلى الله عليه وسلم فعله بقبرولده إبراهم وخرج بالماء ماء الورد فيكره الرش به لأنه إضاعة مال لغرض حصول رائحته فلاينافى أن إضاعة المال حرام وقال السبكى لا بأس باليسير منه إن قصد به حضور الملائكة فإنها تحب الرائحة الطيبة...

Disunnahkan menyiram kubur dengan air, terutama air dingin sebagaimana pernah dilakukan rasulullah saw terhadap pusara anyaknya, Ibrahim. Hanya saja hukumnya menjadi makruh apabila menyiraminya menggunakan air mawar dengan alasan menyia-nyiakan (barang berharga). Meski demikian menurut Imam Subuki tidak mengapa kalau memang penyiraman air mawar itu mengharapkan kehadiran malaikat yang menyukai bau wangi.

Hal ini sebenarnya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah saw

” أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) رش على قبر ابراهيم ابنه ووضع عليه حصباء ”

Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam menyiram [air] di atas kubur Ibrahim, anaknya dan meletakkan kerikil diatasnya.”

Begitu juga dengan meletakkan karangan bunga ataupun bunga telaseh yang biasanya diletakkan di atas pusara ketika menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dalam rangka Itba’ sunnah Rasulullah saw. sebagaimana diterangkan dalam hadits

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا)

Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])

Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ

Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar.

Menggeleng-gelengkan Kepala ketika Berdzikir


Lazim kita melihat dalam berbagai kesempatan baik dalam tahlil, wirid, ataupun acara lain orang-orang menggeleng-gelengkan kepala ketika berdzikir. Ternyata setelah dipertanyakan asal-usul gerakan tersebut, jarang sekali yang dapat menerangkan. Jangan-jangan hal itu merupakan pengaruh tradisi Yahudi?

Atau memang murni ajaran Rasulullah SAW. mengingat belum ditemukan hadits yang menerangkan hal itu. Hanya saja sebagian masyarakat mengakui bahwa gerakan itu mempermudah konsentrasi dalam berdzikir. Tentunya hal ini sangat bernilai positif. Akan tetapi bila dipertanyakan apakah gerakan itu sunnah, atau makruh atau apapun hukumnya?  maka hal yang positif tidak selamanya sejalan dengan hukum syariat.

Namun demikian, guna mendapatkan informasi mengenai hukum menggeleng-gelengkan kepala dalam berdzikir, patut kiranya menelusuri terlebih dahulu apa itu dzikir.

Dalam al-Baqarah 152 Allah memerintahkan kepada makhluqnya untuk senantiasa mengingat-Nya.

فاذكرونى اذكركم...

“Ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu”

artinya dzikir adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk mengingat Allah swt sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam konteks “ingat kepada Allah” ini umat Islam tidak pernah lepas dari tiga hal: doa, wirid dan zikir. Doa adalah permintaan atau permohonan sesuatu kepada Allah untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Wirid merupakan bacaan tertentu untuk mendapatkan 'aliran' berkah dari Allah. Sedangkan zikir adalah segala gerak-gerik dan aktivitas yang berobsesi pada kedekatan atau taqarrub kepada Allah. Me-lafadz-kan atau melafalkan kata-kata tertentu yang mengandung unsur ingat kepada Allah, juga termasuk zikir. Zikir sangat penting karena dalam pandangan kesufian ia merupakan langkah pertama cinta kepada Allah.

Ada dua macam zikir atau ingat kepada Allah: pertama, dzikr bil-lisan, yaitu mengucapkan sejumlah lafaz yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Zikir dengan pola ini dapat dilakukan pada saat-saat tertentu dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di mesjid sehabis salat wajib. Kedua, dzikr bil-qalb, yaitu keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Zikir ini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak ada batasan ruang dan waktu. Pelaku sufi lebih mengistimewakan dzikr bil-qalb ini karena implikasinya yang hakiki. Meskipun demikian, sang dzakir (seseorang yang berzikir) dapat mencapai kesempurnaan apabila ia mampu berzikir dengan lisan sekaligus dengan hatinya.

Dengan demikian, orientasi zikir adalah pada penataan hati atau qalb. Qalb memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena baik dan buruknya aktivitas manusia sangat bergantung kepada kondisi qalb.

Oleh karena itulah semulia-mulia makhluq adalah mereka yang senantiasa berdzikir mengingat Sang Pencipta. Dalam Ali Imran 191 diterangkan bahwa:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Ayat di atas juga dapat digunakan sebagai petunjuk bahwasannya berdzikir kepada Allah swt sangat dianjurkan dalam berbagai kesempatan dan kondisi. Tidak hanya ketika khusyu’ berdiam diri (tuma’ninah) tetapi juga ketika beraktifitas, qiyaman wa qu’udan baik berdiri maupun duduk, bahkan juga ketika berbaring wa a’la junubihim. Apalagi hanya sekedar menggeleng-gelengkan kepala, selagi hal itu memiliki pengaruh yang positif maka hukumnya boleh-boleh saja. bahkan disunnahkan. Hal inilah yang diinformasikan oleh kitab Fatawal Khalili ala Madzhabil Imamis Syafi’i:

... علمت أن الحركة فى الذكر والقرأة ليست محرمة ولا مكروهة بل هي مطلوبة فى جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضر وغني وفقر ...

… saya jadi mengerti bahwasannya menggerakkan (anggauta badan) ketika berdzikir maupun membaca (al-qur’an)  bukanlah sesuatu yang haram ataupun makruh. Akan tetapi sangat dianjurkan dalam semua kondisi baik ketika berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, dalam perjalanan, di rumah, ketika kaya, ataupun ketika faqir…

Dengan demikian teringat kita dengan tarian sufi yang dinisbatkan kepada Jalaluddin Rumi. Bagaimana dzikir juga diapresiasikan dalam seni tari.

TERJEMAHAN KITAB FUTUHUL GHAIB


FUTUHUL GHAIB
( syekh abdul qodir jaelani )
Satu
Melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan ridho atas ketentuan-Nya
Tiga hal yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap mukmin dalam segala ruang dan waktu yaitu:
1. Menjaga dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan tulus ikhlas;
2. Menghindari diri dari segala yang haram baik nyata maupun samar;
3. Ridha menerima takdir Allah Yang Mahakuasa.
Dengan demikian, minimal seseorang yang beriman harus memiliki tiga hal sebagaimana tersebut di atas dan harus diusahakan untuk dapat mendarah daging dalam tubuhnya. Ia harus mengikatkan diri kepada tiga hal ke mana dan di mana dia berada serta dalam keadaan bagaimanapun juga.
Dua
Mengikuti sunnah Rasul SAW, menjauhi bid’ah, dan bersikap istiqamah
1. Seorang muslim harus mengikuti sunnah Rasul SAW dengan penuh keyakinan (keimanan).
2. Seorang muslim tidak sekali-kali melakukan perbuatan bid’ah
3. Seorang muslim harus mematuhi segala yang diperintahkan dan dilarang Allah SWT serta rasul-Nya
4. Seorang muslim harus menjunjung tinggi tauhid, jangan sekali-kali menyekutukan Dia (Allah SWT)
5. Seorang muslim harus menyucikan Dia (Allah) senantiasa, dan jangan sekali-kali menisbahkan suatu keburukan pun kepada-Nya
6. Seorang muslim harus mempertahankan kebenaran-Nya dan hendaklah jangan meragukan sedikitpun atas kebenaran tersebut.
7. Seorang muslim harus bersabar selalu, dalam setiap keadaan dan jangan sekali-kali menunjukan sifat ketidaksabaran.
8. Seorang muslim hendaknya mempunyai sifat isqtiqamah
9. Seorang muslim harus mempunyai pengharapan kepada Allah dengan sabar dan jangan kesal
10. Seorang muslim harus bekerja sama dengan sesama muslim dalam menjalankan amal dan ketaatan, jangan    berpecah-pecah, saling mencintai, dan jangan mendendam
11. Seorang muslim harus menjauhi kejahatan dan jangan sekali-kali ternoda oleh kejahatan tersebut
12. Seorang muslim harus menghiasi dirinya dengan ketaatan kepada Rabbmu, Allah swt.
13. Seorang muslim jangan sekali-kali menjauhi pintu-pintu Allah Swt.
14. Seorang muslim jangan sekali-kali berpaling dari-Nya.
15. Seorang muslim hendaknya menyegerakan bertobat atas dosa yang telah dilakukan, jangan ditunda-tunda.
16. Seorang muslim tidak bosan-bosan untuk memohon ampunan kepada Allah siang dan malam.
Apabila seorang muslim telah berlaku demikian, ia akan mendapatkan rahmat dari Nya dan dijauhkan dari api neraka. Hidup bahagia di surga yang kekal. Kelak di akhirat, ia akan bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya.
Di surga, ia bersama bidadari, mengendarai kuda-kuda yang berwarna putih. Bersuka ria dengan hurhur bermata putih, menghirup aneka aroma, dan diiringi melodi-melodi para hamba sahaya wanita yang cantik. Ia akan dimuliakan bersama Nabi, para siddiqin, para syahiddin, dan para salihin lainnya di surga yang tertinggi.
Tiga
Memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla
Seandainya seorang hamba Allah mendapatkan kesulitan dalam hidupnya, pertama sekali ia harus berusaha mengatasinya dengan daya dan upayanya sendiri. Jika tak mampu mengatasi kesulitanya sendiri, hendaknya ia meminta pertolongan kepada sesamanya, misalnya kepada pejabat, hartawan, dan penguasa lainnya, atau tetangganya. Jika ia sakit hendaknya pergi ke tabib (dokter). Apabila masih juga tak berhasil, pertolongan terakhir yang diharapkan hendaknya kepada Khaliq-nya (Allah swt), Tuhan Yang Mahabesar lagi Mahakuasa. Caranya ialah dengan memanjatkan doa dengan diiringi kerendahan hati serta pujian-pujian untuk-Nya.
Apabila pertolongan itu tiada kunjung data dari Allah, jangan berputus asa. Ia harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, memuji dan memohon dengan penuh harap dan cemas. Apabila Allah tidak kunjung mengabulkan permohonannya dan doanya, ia harus meninggalkan segala yang berurusan dengan duniawi. Kemudian ia mencurahkan segala-galanya untuk kepentingan rohaninya (kepentingan akhirat).
Pada tingkatan ini, ia akan merasakan atau melihat dengan mata batinya atas kehendak Allah. Dan, sampailah ia kepada keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya.
Pada tahap ini ia akan menduduki haqqul yaqin (keyakinan yang hak/tinggi). Keyakinan tentang apakah itu?
Keyakinan yang dimaksudkan ialah tentang hakikat bahwa segala sesuatu itu tiada yang menggerakannya, kecuali Allah, tiada yang menghentikan, kecuali Allah Swt. Tiada kekayaan dan kemiskinan, kecuali Allah yang menghendakinya. Di hadapan Allah, seseorang bagaikan bayi di tangan dukun beranak atau mayat yang dimandikan, atau bola di kaki pemainnya. Tak kuasa apapun, kecuali kehendak Allah Swt. Dengan demikian, ia tak akan melihat, kecuali hanya kepada Allah. Tak akan mendengar, kecuali hanya dari Allah; jika mendapat sesuatu – menyenangkan atau menyedihkan – diyakini semata karena Allah belaka. Jika mendengarkan sesuatu, yang didengar adalah firman Allah melalui ilmu-Nya. Ia akan mendapatkan karunia-Nya dan mendapatkan keberuntungan karena mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Ia menjadi mulia, rida atas segala yang dijumpainya. Ia merasa puas atas segala yang menimpanya, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan .
Akhirnya, ia rindu selalu kepada Allah, ingin terus memuji dan berzikir. Segala sesuatu dalam hidupnya bertumpu kepada Allah semata. Ia mendapatkan nur dari Allah karena ilmu Allah itu sendiri. Ia dimuliakan karena ilmu Allah juga. Dengan begitu, senantiasa puji dan syukur tercurahkan kepada Allah Yang Mahakuasa saja.
Empat
Mengharap rahmat Allah Azza wa Jalla
Jika engkau abaikan ciptaan, semoga Allah merahmatimu . Semoga Allah membunuh kehendakmu (yang tak baik) dan Dia menempatkanmu dalam kehidupan yang baru dan mulia.
Sekarang dirimu mendapatkan karunia berupa kehidupan yang abadi, mendapat kekayaan dan kebahagian yang abadi, dan mendapat rahmat dan ilmu sehingga tak mengenal kebodohan.
Engkau dilindungi Allah dari rasa takut. Engka dimuliakan sehingga tidak hina lagi dan selalu dekat kepada Allah sehingga menjadi tumpuan harapan bagi orang2 yang memohon kepada Allah melalui dirimu.
Kau menjadi pengganti rasul, para nabi dan shadiqqin. Kau adalah puncak wilayat dan para wali yang masih hidup mengerumunimu. Segala masalah dapat engkau selesaikan dan kau temukan jalan keluarnya. Sawah ladang berpanen melimpah ruah berkat doamu. Lenyapnya penderitaan umat juga melalui doamu. Orang-orang banyak yang datang dan bergegas menemuimu membawa bingkisan dan hadiah serta mengabdi kepadamu. Pengabdian dalam segala hal kehidupan. Semua itu karena ijin Sang Pencipta. Mereka senantiasa mendoakanmu. Tak ada dua mukmim yang memperselisihkan engkau. Inilah rahmat Allah SWT, wahai manusia. Dan Allah Pemilik segala rahmat.
Lima
Menghindari dunia
Jika engkau melihat dunia ini berada di tangan orang lain, janganlah takjub Dunia itu memang penuh dengan hiasan, tetapi di sisi lain penuh dengan racun yang mematikan. Tampaknya lembut, tetapi membahayakan bagi yang merabanya. Dunia pada hakikatnya mengecoh dan membuat manusia menyepelekan keburukan dari tipu daya dan janji-janji palsunya.
Apabila melihat yang demikian itu, hendaknya kau berlaku seakan-akan menghadapi orang yang sombong, sewenang-wenang, dan berbau busuk. Ibaratkanlah dunia itu seperti demikian. Jika melihat situasi yang demikian, berpalinglah dari kebusukannya. Tutuplah hidungmu agar tak menghirup bau amisnya. Tutuplah hidung dan telingamu dari bau dan suara hawa nafsu walaupun segala kenikmatan yang tersimpan di dalamnya menghampirimu. Allah SWT telah berfirman kepada nabi pilihannya (Muhammad saw)
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada (perhiasan) yang kami berikan kepada bermacam-macam orang di antara mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia, supaya mereka Kami cobai denganya. Dan rezeki Allah-mu (dalam surga) lebih baik dan lebih kekal (QS 20:131)
Enam
Beribadah hanya karena Allah SWT
Apabila melaksanakan perintah Allah, tanggalkan pandangan manusia yang tertuju kepadamu dan tanggalkan kepentingan pribadimu dan hendaknya engkau tujukan kepada Allah saja.
Untuk menghindari pandangan manusia – yang memuji – atas amalanmu dalam melaksanakan perintah Allah, menghindarlah dari mereka, asingkan diri sepenuhnya dan bebaskan jiwamu dari segala harapan mereka. Lenyapkanlah segala nafsumu. Adapun tanda lenyapnya nafus ialah:
1. meninggalkan kesibukan mengejar duniawi;
2. berhubungan dengan mereka hanya untuk mendapatkan manfaat;
3. cenderung menghindarkan diri dara kemudaratan;
4. tidak mengntungkan diri sendiri dalam masalah pribadi.
5. tidak membantu melindungi diri sendiri, tetapi memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, karena Dia-lah Yang Mahakuasa.
Kemauan itu dapat lenyap dari jiwamu. Kemauan yang dimaksud ialah yang didorong oleh hawa nafsu. Adapun lenyapnya kemauan atas kehendak Allah itu ditandai sebagai berikut:
1. Tidak pernah menurutkan keinginan, tak merasa butuh, tidak mempunyai tujuan, kecuali hanya satu tujuan dan satu kebutuhan, yakni kepada Allah SWT belaka;
2. kehendak Allah akan berwujud pada dirimu, sehingga jika kehendaknya bereaksi, tubuhmu menjadi pasif, namun hatimu tenang, pikiranmu jernih, nurani dan rohanimu menjadi berseri. Dengan demikian, kebutuhanmu tentang kebendaan kau pasrahkan dan engkau bergantung kepada Allah SWT saja;
3. gerakanmu digerakan oleh kekuasaan-Nya, lidah keabadian memberi hiasan kepadamu berupa nur-Nya yang menempatkan kedududukanmu sejajar dengan ulama hikmah yang telah mendahuluimu.
Jika mampu seperti demikian, niscaya engkah berhasil menaklukan diri sendiri, sehingga dalam ragamu tidak ada “kedirianmu”, laksana bejana yang hancur, bersih dari air dan endapan.
Engkau akan terpisahkan dari segala gerak manusiawi karena rohanimu menolak segala sesuatu. Rohmu hanya menerima kehendak Allah saja. Pada peringkat dan kedudukan seperti ini, engkau akan mendapatkan suatu keajaiban. Hal ini seolah-olah hanya usahamu dalam melatih diri dan rohmu, padahal sebenarnya adalah kehendak Allah belaka.
Pada kedudukan ini, engkau mampu menjadi orang yang dapat menundukan hati sendiri, sifat hewanimu telah musnah. Dengan demikian, engkau akan mendapat ilham atas kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kenyataan sehari-hari.
Allah Yang Mahatinggi tak akan bersamamu, jika kedirianmu (nafsu duniawi, hewani, sifat yang merusakan/membutakan hati) belum sirna. Jika ke-dirianmu telah sirna, lalu kau menganggap sesuatu di dunia ini tak ada artinya kecuali Allah, Dia akan memberikan kebugaran dan kesegaran rohani. Allah akan memberi kekuatan rohani dan dengan rohani tersebut, engkau berkehendak.
Jika di dalam dirimu masih juga terdapat noda meskipun sekecil biji dzarah, Allah akan menolakmu agar engkau terus berusaha untuk diterima Allah. Allah pun terus menciptakan kemauan baru dalam dirimu agar engkau tidak merasa puas dengan amal dan ibadah yang kau lakukan, hal ini sampai pada akhir hayatmu.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman,
“Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, yaitu dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan sehingga Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, demikianlah keadaan fana.”
Oleh sebab itu, Dia menyelamatkanmu dari kejahatan para mahluk-Nya, kemudian mendorongmu dalam kebaikan-Nya. Dengan begitu, engkau akan menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagian, kenikmatan, semangat, damai dan sentosa.
Para wali terdahulu pun menunaikan ibadah untuk mendekatkan dirinya sedekat mungkin kepada Allah SWT. Itulah yang menjadi tujuannya, tujuan terakhir. Mereka senantiasa beralih dari kehendak yang timbul dari pribadinya sendiri, mengubahnya menjadi kehendak dari Allah. Itulah sebabnya, mereka kemudian disebut “badal” (berubah).
Bagi mereka ini, menggabungkan kehendak dirinya sendiri dengan kehendak Allah adalah dosa.
Apabila mereka terbawa tipuan perasaan2nya sendiri sehingga lalai atau takut, Allah menolong mereka dengan kasih sayang – Nya. Allah akan mengingatkan mereka dan akhirnya mereka sadar dan berlindung kepada Tuhannya. Merekea berlindung dari kemauan pribadinya karena menyadari bahwa mereka tak akan mampu membersihkan dirinya sampai sebersih mungkin dari nafsu dan kemauan, kecuali malaikat. Para malaikat memang suci dari nafsu dan kehendak, para nabi terbebas dari kedirian, sedangkan jin dan manusia tak terlepaskan dari nafsu yang kelak menuntut pertanggungjawaban moral. Akan tetapi, meskipun manusia itu tak dapat terbebas dari nafsu, para wali mampu melemahkan nafsunya sehingga dengan, bantuan Allah, mereka mendapatkan rahmat yang menguatkan akalnya.
Tujuh
Terlepas dari Ketertarikan Dunia
Perbaiki dirimu dan tinggalkan olehmu kegelisahan dunia sesuai kemampuanmu. Nabi Muhammad saw bersabda,” Lepaskan dirimu dari bingungnya urusan dunia, sejauh kemampuanmu “
Kalau kau mengetahui apa yang kau cari, kalau dunia kau peroleh, engkau akan menjumpai kelelahan. Kalau kau menaruh perhatian yang berlebihan pada dunia niscaya kau akan merugi. Bebaskan diri dari urusan dunia, lepaskan perhiasan dunia, lucuti pakaian hawa nafsu. Karena kesungguhan diri beribadah pada Allah adalah sebuah hidayah.
Kalau ingin bahagia, engkau harus memiliki ketenangan lahir dan batin. Bersabarlah atas pemberian Allah, hindari prasangka buruk atasNya, karena Dia menyayangimu. “ Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi pula engkau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu” (Al Baqarah 216)
Barangsiapa menginginkan jalan menuju keridhaan Allah , maka didiklah hawa nafsumu sebelum mendidik perbuatanmu. Bersungguh2lah sampai engkau mendapat ketenangan. Jangan turuti nafsu kecuali engkau telah melatih nafsumu dengan pelajaran dan perilaku baik. Dengan bersungguh2 mata akan terbuka dan kebodohan tak akan menghampiri kita. Hal ini membutuhkan pengikat dan waktu yang panjang, tidak dating begitu saja.
Pukullah nafsumu dengan cambuk lapar, cegahlah kehendaknya. Engkau harus bisa bertahan, karena nafsu hanya bisa berdusta dan tak pernah benar. Janjinya bohong dan Iblis adalah pentolannya. Dia tak punya kekuatan untuk memusuhi orang yang beriman.
Allah tidak memberi cobaan kepadamu kecuali disana ada hikmah dan faedah.
Kalau kau didera musibah, ingatlah dosa2mu. Mohonlah kesabaran padaNYA, perbanyak istigfar dan bertaubat lah segera. Bergaulah dengan para kekasih Allah, alim ulama dan teman yang bila kau melihatnya, mengingatkanmu akan Allah.
Wahai para pelanglang buana, Wahai para pelancong dunia, Peganglah erat-erat petunjukKu, Hingga sampai ditujuan, jangan kau keluar dari petunjuk, maka kau akan Kuberi petunjuk.
Bagaimana kau akan berperilaku baik, kalau tak berteman dengan Kawan yang berperilaku sopan santun
Bagaimana kau akan menimba ilmu, kalau kau tak senang dengan gurumu.
Syekh Abdul Qadir Jailani,
“Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
delapan
Lepas dari kemaksiatan
Wahai orang muda, janganlah engkau berputus asa daripada Rahmat Allah ‘Azza wa Jall kerana kemaksiatan yang telah engkau lakukan. Bersihkanlah kotoran dari pakaian agamamu dengan air taubat, dengan taubat yang istiqomah dan ikhlas. Kemudian, harumkanlah pakaian agamamu itu dengan (air wangi) ma‘rifah. Berhati-hatilah engkau dengan kedudukanmu sekarang kerana ke arah mana pun engkau toleh, terdapat hewan-hewan yang buas sedang berada di sekeliling dirimu, dan pengaruh-pengaruh jahat yang merusak pula sedang bertindak ke atas dirimu. Lepaskanlah dirimu daripadanya dan kembalikanlah hatimu kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall.
Ada seorang insan yang telah berkata: “Aku ingin menjadi salah seorang daripada orang-orang yang mencari WajahNya. Hatiku telah terpandang Pintu Kedekatan (Bab al-Qurb) dan aku telah melihat para kekasih memasukinya dan kemudian telah keluar memakai pakaian-pakaian yang telah dianugerahkan oleh al-Malik (Raja, yakni Allah Ta‘la.) Apakah balasan untuk memasukinya?”
Kepadanya, aku telah menjawab: “Hendaklah engkau korbankan seluruh dirimu. Tinggalkan segala kehendak syahwat dan segala rasa kelazatan. Lenyapkan dirimu di dalamNya. Ucapkan selamat tinggal kepada segala taman syurga dan segala isi kandungannya, dan tinggalkanlah ia. Ucapkan selamat jalan kepada nafsu, hawa dan tabiat-tabiat. Ucapkan selamat jalan kepada segala keinginan, sama ada yang berbentuk keduniaan ataupun keakhiratan. Ucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu dan engkau tinggalkannya di belakang hatimu. Setelah itu, masuklah. Engkau akan melihat apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah terlintas di hati manusia.”
Sufi ialah seorang manusia yang telah bersih batinnya dan juga zahirnya, dengan mengikuti kitab Allah ‘Azza wa Jall dan sunnah rasulNya. Dan jika kebersihannya sudah bertambah, dia akan keluar dari lautan kewujudannya, dan meninggalkan segala kehendak, ikhtiar dan keinginannya, kerana kebersihan hatinya.
Asas kebaikan ialah dengan menuruti an-NabÏ SallAllahu ‘alaihi wa sallam pada (seluruh) perkataannya dan perbuatannya.
Apabila hati si hamba (qalb al-‘abd) telah bersih, dia akan dapat melihat an-Nabi SallAllahu ‘alaihi wa sallam di dalam tidurnya, yang akan memberitahunya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhkan.
Seluruh dirinya akan menjadi sekeping hati, dan terpisah dengan niatnya. Dia akan menjadi sebuah rahsia tanpa penyataan, satu kebersihan tanpa kekeruhan. Kulit zahirnya akan tertanggal dari dirinya, sehingga yang tinggal adalah isi (lubb) tanpa kulit.
Dia akan bersama an-Nabiyullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi maknawi, yang akan melatih hatinya dan berada di hadapannya. Tangannya berada di dalam tangan baginda Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan an-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi penasihat mengenaiNya, dan penjaga pintuNya.
Di dalam sebuah mimpi, seorang lelaki tua telah bertanya kepada diriku , “Apakah yang dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla?”
Maka aku telah menjawab, “Baginya satu permulaan dan satu kesudahan. Permulaannya ialah wara’ dan kesudahannya ialah penerimaan, penyerahan (at-taslim) dan persandaraan (at-tawakkul).”
Apabila seseorang itu bersikap benar dan ikhlas dengan Tuhan, dia tidak lagi mempedulikan setiap sesuatu selain daripadaNya, pada siang atau malam hari.
Wahai manusia, janganlah mengaku apa yang bukan milikmu. Esakanlah Allah dan janganlah mempersekutukanNya. Demi Allah (dengan melakukan yang demikian), apabila sampai panah takdir kepadamu, ia hanya akan mencalar dan tidak pula membunuhmu.
Siapa saja yang menginginkan kejayaan (al-falah), hendaklah dia menjadi sekeping tanah di bawah tapak kaki para masyaikh (para Mursyid).
Apakah ciri-ciri para masyaikh itu? Mereka adalah orang-orang yang telah menceraikan dunia dan segala makhluk, dan telah mengucapkan selamat tinggal kepada kedua-duanya (yakni dunia dan segala makhluk). Mereka juga telah mengucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu, dari bawah al-‘arsy hinggalah ke dasar bumi . Mereka telah meninggalkan setiap sesuatu itu di belakang mereka, dan telah mengucapkan selamat tinggal sebagai seorang yang tidak akan kembali lagi. Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh makhluk, termasuk diri mereka sendiri. Wujud mereka adalah bersama-sama Allah, pada setiap keadaan.
Siapa yang menuntut kecintaan Allah (namun masih) disertai dengan kewujudan nafsunya, maka dia sedang berkhayal dan berangan-angan.
Kebanyakan daripada mereka dari golongan al-mutazahhidin al-muta‘abbidin (orang-orang yang cuba menyerupai kaum Zuhud dan ahli ibadah), pada hakikatnya, adalah hamba-hamba para makhluk, yang telah mereka syirikkan (yakni menjadikannya sekutu bagi Allah).
Berdirilah engkau sekelian di hadapanNya di atas tapak-tapak kaki (aqdam) yang telah muflis daripada akal-akal fikiranmu dan ilmu-ilmumu, agar engkau sekalian dapat mengambil ilmu daripadaNya.
Janganlah merasa sangsi terhadapNya apabila Dia menunda Ijabah. Janganlah berputus asa dalam berdoa kepadaNya. Jika engkau tidak menerima apa-apa keuntungan, maka tidak pula engkau menanggung apa-apa kerugian. Jika Dia tidak memperkenankannya dengan serta-merta, maka Dia akan memberikan engkau gantinya di Hari Kemudian.
Selagi kecintaan kepada dunia kekal di hatimu, tiada akan melihat engkau sesuatu daripada ahwal as-Salihin. Selagi engkau meminta-minta dari makhluk dan mempersekutukan (Allah) dengan mereka, tiada akan terbuka mata hatimu. Tiadalah kata-kata itu sehingga engkau berzuhud dari dunia dan makhluk. Bersungguh-sungguhlah engkau. Engkau akan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, dan akan terlepas bagimu adat.
Jika engkau tinggalkan apa yang di dalam hitunganmu (hisab) akan datang kepadamu apa yang bukan di dalam hitunganmu. Apabila engkau bergantung penuh kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall, dan bertaqwa di dalam khalwah dan di khalayak ramai, Dia akan mengaruniakanmu rezeki yang tidak disangka-sangka (la yahtasib). Engkau tinggalkan, Dia berikan. Engkau berzuhud, Dia temukan hajatmu.
Di peringkat permulaan, (ialah) meninggalkan. Di peringkat akhir, (ialah) pengambilan. Di awal urusan ini, ialah pemberatan kalbu dengan meninggalkan segala syahwat dan dunia, dan di akhirnya ialah pengambilannya. Yang pertama ialah bagi al-Muttaqin, dan yang kedua ialah bagi al-Abdal, yang telah sampai (al-wasilinn) kepada ketaatan (kepada) Allah ‘Azza wa Jall.
Kata-kata itu tidak sesuai untuk diucapkan sehingga segala tuhan-tuhanmu menjadi Tuhan yang satu, sehingga segala keinginanmu menjadi satu, dan sehingga segala tumpuan cintamu menjadi satu.
Hatimu hendaklah dijadikan satu. Bilakah kedekatan kepada al-Haqq dapat mendirikan kemahnya di dalam hatimu? Kapan hatimu akan menjadi majdhub (tertarik) dan sirr-mu menjadi muqarrab (didekatkan)? Dan kapankah segera engkau dapat menemui Tuhanmu, setelah engkau mengucapkan selamat tinggal kepada segala makhluk?
“Di dalam sebuah Mimpi seorang lelaki tua telah bertanya kepadaku. . ..
Wahai WaliulLah apakah yg dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan
Allah SWT . . . . ?!
lalu aku telah menjawab kepadamu wahai Mubarok !
baginya ada 2 perkara yaitu . . .
1.PERMULAAN
yaitu jadi lah kamu org yg Wara’
(senantiasa menjauhkan diri dr segala macam Dosa)
2.KESUDAHAN
jadilah Org Yg Qona’ah !
Mendengar jawaban yg singkat dan padat tersebut . . .
Lelaki tua itupun Pergi dgn hati yg damai !
dan nampak Bersinar wajah yg sudah dimakan usia tersebut ”

Kamis, 20 September 2012

MUNAS NU 2012 KEMPEK




Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2012 menegaskan hukum haram untuk pemilihan calon pemimpin yang mengabaikan kepentingan rakyat secara umum, cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, dan gagal dalam melaksanakan tugas sebelumnya.

Keputusan tersebut dibacakan Sekretaris Komisi Bahtsul Masail ad-Diniyah al-Waqi’iyah KH Arwani Faishal dalam sidang pleno terakhir Munas dan Konbes NU 2012 di Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Senin (17/9). Sidang dikuti sedikitnya 600 peserta dari unsur pengurus NU dan ulama-ulama nonstruktural.

Kepada forum, Arwani menyampaikan, tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk menduduki jabatan publik atau urusan rakyat/umat orang yang mengidap sifat-sifat seperti itu.

“Larangan tersebut karena beberapa hal di atas membuktikan bahwa ia adalah calon yang tidak jujur, tidak terpercaya, suka berkhianat dan tidak memiliki keahlian,” sambungnya.

Sumber keputusan didasarkan pada dalil al-Qur’an dan Sunnah, dilengkapi dengan pendapat ulama (aqwal ulama), seperti termaktub dalam kitab Raudlatut Thalibin,Is’adur Rafiq, dan sejumlah kitab lainnya.

Selain tentang memilih calon pemimpin, peserta Munas juga memutusan berbagai persoalan aktual (masail waqi’iyah) lain. Di antaranya, risywah atau suap politik yang berkedok zakat atau sedekah, hukuman mati bagi koruptor, syariat Islam mengenai kekayaan negara, pemenuhan kesejahteraan rakyat oleh pemerintah, pematokan harga beras, dana talangan haji, dan ihwal pembunuhan karakter. Proses bahsul masail yang diikuti para kiai ini sudah dimulai sejak Ahad pagi.
GUS DUR WALI
“Kewalian” Gus Dur Dibedah di Ajang Munas


Ketika Jalaluddin Rumi meninggal, kucing di rumahnya terlihat sedih berhari-hari, dan lalu meninggal pula. Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat, juga demikian, beberapa hari kemudian kucing di rumahnya meninggal, kata Kiai Husein Muhammad.

Dalam acara bedah bukunya yang berjudul “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur” yang diselenggarakan Intelektual Muhajirin NU (IMNU) Cirebon, di Yayasan Khatulistiwa Kempek, Ahad (16/9), ia membandingkan Gus Dur dengan Jalaluddin Rumi.

Kiai Husein mengatakan, situasi yang sosial politik yang melingkupi saat wafatnya wali besar Jalaluddin Rumi, dimana waktu itu banyak konflik, dimana keragaman terus diperjuangkan, tetapi konflik sosial juga sangat rawan. Ini sama persis dengan situasi sosial politik di saat Gus Dur wafat.

Pernyataan Kiai Husein ini dilontarkannya untuk menegaskan bahwa apa yang dilakukan Gus Dur selama ini memiliki dasar yang kuat dalam Islam, khususnya spiritualitas Islam.



“Buku Sang Zahid ini, sesungguhnya hasil refleksi saya atas kebersamaan saya dengan Gus Dur sejak 1997. Saat itu beliau mulai sakit-sakitan, stroke, saya paling tidak waktu itu dua kali sekali dalam sebulan berkunjung ke rumah beliau. Saya menyaksikan sendiri bagaimana Gus Dur berperilaku setiap hari,” demikian jelas Kiai Husein.

“Gus Dur bukanlah budayawan, bukan seorang pembela HAM, bukan pembela minoritas, bukan politikus, bukan pemikir Islam dan bukan ulama, tetapi Gus Dur adalah menjadi semuanya itu. Gus Dur selama ini banyak bergerak di berbagai bidang, dan memiliki effek bagi orang banyak. Apakah yang melandasi semua gerakan itu. Yang menggerakkannya adalah spiritualitas Gus Dur, yang memiliki rujukan pada spritualitas Islam (tasawuf),” katanya.

Gus Dur sering dianggap aneh, dan ucapannya baru dianggap benar, karena ternyata di kemudian hari ucapan Gus Dur malah terbukti. Hal ini sesuai dengan spiritualitas Ibnu Athaillah Sakandari dalam kita Hikamnya yang mengatakan bahwa bagi orang-orang suci yang dekat dengan Allah, kata-katanya bisa mendahului zamannya. Ini bukan sesuatu yang aneh menurutnya, karena sering juga dialami oleh para Wali Allah. Demikianlah Kiai Husein, secara panjang lebar menjelaskan tentang sisi-sisi kewalian Gus Dur.

Sementara itu pembanding, rektor IAIN Syeikh Nurdjati Cirebon, Prof Dr Maksum Mochtar, menyampaikan, tidak cukup untuk hanya mengagumi Gus Dur. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa seperti Gus Dur.

“Dan ini bisa saja, melalui pendidikan dengan basis penguatan neurosains mungkin saja kecerdasan kita bisa meningkat sebagaiman Gus Dur. Kita jangan lihat Gus Dur sekarang, tetapi lihatlah prosesnya menjadi sebesar itu.”

Pembanding lainnya, rektor ISIF, Prof Dr Chozin Nashuha, mengusulkan adanya pemetaan posisi Gus Dur di antara sufi-sufi besar yang ada.

“Mari kita lihat, bila dibanding dengan tokoh-tokoh sufi yang ada, maka Gus Dur itu adalah salah satu produsen pemikiran-pemikiran tasawuf, atau agen penyalur saja, ata bahkan hanya konsumen saja?” katanya, seraya melempar pertanyaan ke forum. 
Inilah 4 Rekomendasi Hasil Munas NU
Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) sudah menghasilkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan berbagai masalah bangsa ini juga sudah diberikan kepada Presiden SBY. Keempat rekomendasi yang ditetapkan pada Senin (17/9) tersebut antara lain;
A. Politik dan Persoalan Korupsi

Upaya-upaya penanggulangan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum berjalan dengan baik, karena aparatur yang bertugas untuk itu yaitu kepolisian dan kejaksaan, tidak menunjukkan keseriusan. Ketidakseriusan ini hanya dapat diatasi oleh lembaga yang berada di atas keduanya, yaitu Presiden. Presiden juga harus bertindak tegas terhadap aparat pemerintahan di bawahnya yang terlibat korupsi.

Rekomendasi :

1. Presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah, utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang terlibat korupsi.

2. Masyarakat agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor, sehingga dapat menimbulkan efek jera dan juga efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.




B.  Persoalan Pajak

Bahwa bagi umat Islam, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan perintah langsung dari Al-Quran dan Hadits secara eksplisit adalah zakat. Sedangkan kewajiban membayar pajak hanya berdasarkan perintah yang tidak langsung (implicit) dalam konteks mematuhi penguasa (ulil ‘amri),Penguasa di dalam membelanjakan uang Negara yang diperoleh dari pajak berdasarkan kaidah fikih “tasharruful imam ‘alai ro’iyyah manuutun bil mashlahah al-raiyyah”, mesti mengacu pada tujuan kesejahteraan dan kemanusiaan warga Negara (terutama kaum fakir miskin).

Ketika ternyata bahwa uang negara yang berasal dari pajak tidak dikelola dengan baik atau tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya bahkan terbukti banyak dikorupsi, maka muncul pertanyaan: apakah kewajiban membayar pajak oleh warga negara itu masih punya landasan hukum keagamaan yang kuat? Artinya masihkah menjadi wajib membayar pajak tersebut?

Rekomendasi :

1. Pemerintah harus lebih transparan dan bertanggungjawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran;

2. Pemerintah harus megutamakan kemashlahatan warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak;

3. PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi kedua poin di atas.

C.  International : Innocence of  Muslims

Akhir-akhir ini dengan alasan kebebasan berekspresi, muncul beberapa karya dalam media massa yang dirasakan melecehkan dan menodai simbol-simbol agama Islam. Sebagai reaksi terhadap hal itu, banyak dilakukan tindakan yang tidak terkendali dan merusak. Misalnya film The Innocence of Muslims, kartun Nabi Muhammad, dan novel The Satanic Verses. Hal semacam juga terjadi terhadap agama lain.

Rekomendasi

1. Lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan OKI membuat Konvensi yang mewajibkan semua orang untuk tidak melakukan tindakan yang melecehkan dan atau menodai simbol-simbol yang dihormati agama.

2. Umat Islam agar tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali dan destruktif oleh segala bentuk serangan seperti yang dilakukan pembuat film Innocent of  Muslims.

D. Pendidikan : Nilai-nilai Kepesentrenan dalam Kurikulum Pendidikan Karakter

Selama ini salah satu kelebihan yang dikenal dari nilai-nilai pendidikan pesantren adalah kemandirian peserta didik dalam menghadapi kehidupannya. Di sisi yang lain, sistem pendidikan pesantren juga terkenal dengan pendidikan karakter lewat keteladanan yang diberikan oleh kyai dan para guru kepada santri-santrinya. Di pesantren para santri juga dibiasakan hidup sederhana, mencukupkan diri, dengan sedikit bekal untuk belajar, jauh dari berkelebihan.

Rekomendasi

1. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk meninjau ulang pendidikan karakter yang masih lemah dan belum menjadi kesadaran atau internalisasi nilai-nilai, serta belum berorientasi ke masa depan (mutu dan kepribadian unggul) bagi peserta didik, sehingga pendidikan karakter tidak bisa diaplikasikan dengan maksimal.


2. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan kepada peserta didik karakter yang mulia, baik terkait hubungan dengan manusia (hablu minannas), dengan Allah (hablu minailah), dan dengan alam (hablum minal ‘alam).

3. Nilai-nilai kepesantrenan (kemandirian, keikhlasan, ketawadhu’an, dan hidup sederhana) itu sangat sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 tentang pendidikan yaitu iman, taqwa, dan akhlak mulia, oleh karena itu nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai bagian pendidikan karakter dari sistem pendidikan nasional.

4. Pemerintah berkewajiban untuk melindungi para pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan dan menjamin pendidik bisa berperan aktif untuk menjalankan pendidikan karakter.

5. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyempurnakan sistem ujian nasional (UN) agar dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang selama ini menghambat tercapainya standar kualitas pendidikan nasional yang diharapkan seperti pelanggaran dan kecurangan.

6. PBNU harus mendorong berkembangnya peraturan-peraturan daerah yang mempertimbangkan tradisi-tradisi lokal keagamaan agar menjadi spirit pendidikan.  

Selasa, 31 Juli 2012

Sejarah, Hukum dan Praktik Tarawih


Shalat tarawih adalah bagian dari pada Qiyamu Ramadlan. Karena itu, mari kita lakukan ibadah shalat tarawih dengan sungguh-sungguh dan memperhatikannya serta mengharapkan pahala dan balasan dari Allah swt, Karena Malam Ramadlan adalah kesempatan yang terbatas bilangannya dan orang mu’min yang berakal akan memanfaatkannya dengan baik tanpa ada yang terlewatkan.Jangan sampai kalian meninggalkan shalat tarawih, jika ingin memperoleh pahala shalat tarawih. Dan jangan pula kembali dari shalat tarawih sebelum imam selesai darinya dan dari shalat witir, agar mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW: “Barangsiapa mendirikan shalat malam bersama imam sehingga selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk”. (HR. Sunan, dengan sanad shahih).

Hukum Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan khusus pada malam bulan Ramadlan yang dilaksanakan setelah shalat Isya’ dan sebelum sholat witir.

Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan kaum hawa (perempuan), karena tarawih telah dianjurkan beliau Nabi Muhammad saw kepada ummatnya.

Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar dibulan Ramadlan yang penuh berkah, keagungan dan keutamaan disisi Allah swt. Sebagaimana termaktub dalam Hadist Nabi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Dari Abi Hurairah ra: sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda; “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridlo dari Allah, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan sabda Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه مسلم)

Artinya: “Dari Abi Hurairah ra: Rasulullah SAW menggemarkan shalat pada bulan Ramadlan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridla dari Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR: Muslim).

Maksud kata “Qoma Ramadlan” dalam hadist di atas adalah melaksanakan ibadah untuk menghidupkan malamnya bulan Ramadlan dengan cara melaksanakan shalat tarawih, dzikir, membaca al-Qur’an dan ibadah-ibadah sunnah lainnya sebagaimana yang dianjurkan beliau Nabi saw. Dan orang-orang yang melakukannya dengan didasari iman dan mengharapkan keridlo’an Allah, maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lewat.

Sejarah Shalat Tarawih
Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan hanya pada bulan Ramadlan, dan shalat tarawih ini dikerjakan beliau Nabi pada tanggal 23 Ramadlan tahun kedua hijriyyah, namun pada masa itu beliau Nabi mengerjakan shalat tarawih tidak di masjid terus menerus, kadang di masjid, kadang mengerjakannya di rumah. Sebagaimana dalam Hadist:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam hari sholat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau, beliau sholat dan pengikut bertambah ramai (banyak) pada hari ke-Tiga dan ke-empat orang-orang banyak berkumpul menunggu beliau Nabi, tetapi Nabi tidak keluar (tidak datang) ke masjid lagi. Ketika pagi-pagi, Nabi bersabda: “sesungguhnya aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang kemasjid karena aku takut sekali kalau sholat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah berkata: “hal itu terjadi pada bulan Ramadlan”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan sholat tarawih, pada malam hari yang ke-dua beliau datang lagi mengerjakan sholat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang ketiga dan ke-empat Nabi tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa beliau takut sholat tarawih itu akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat antusias dan bertambah banyak, sehingga hal ini ada kemungkinan beliau berfikir,  Allah sewaktu-waktu akan menurunkan wahyu mewajibkan sholat tarawih kepada ummatnya, karena orang-orang Muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi berat bagi ummatnya. Atau akan memberikan dugaan kepada ummatnya, bahwa sholat tarawih telah diwajibkan, karena sholat tarawih adalah perbuatan baik yang selalu dikerjakan beliau Nabi, sehingga ummatnya akan menduga sholat tarawih adalah wajib. Hal ini sebagaimana keterangan dibawah ini:

أَنَّهُ إِذَا وَاظَبَ عَلَى شَيْء مِنْ أَعْمَال الْبِرّ وَاقْتَدَى النَّاس بِهِ فِيهِ أَنَّهُ يُفْرَض عَلَيْهِمْ اِنْتَهَى

Artinya: “Sesungguhnya Nabi ketika menekuni sesuatu dari amal kebaikan dan diikuti ummatnya, maka perkara tersebut telah diwajibkan atas ummatnya”.

Langkah bijaksana dan sangat sayangnya beliau Nabi saw kepada ummatnya. Pada hadist di atas dapat ditarik kesimpulan:
1) Nabi melaksanakan shalat tarawih berjama’ah di Masjid hanya dua malam. Dan beliau tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada ummatnya.
2) Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh rasulullah dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.
3) Dalam hadist di atas tidak ada penyebutan bilangan roka’at dan ketentuan roka’at shalat Tarawih secara rinci.

Jumlah Roka’at Shalat Tarawih Pada Masa Sahabat Abu Bakar Dan Umar Ra.
Shalat tarawih adalah bagian dari shalat sunnah Al-Mu’akkadadah (sholat sunnah yang sangat disunnahkan). sedangkan roka’at shalat tarawih adalah 20 roka’at tanpa witir, sebagaimana yang telah dikerjakan sahabat Umar dan mayoritas sahabat lainnya yang sudah disepakati oleh umatnya, baik ulama’ salaf atau ulama’ kholaf mulai masa sahabat Umar sampai sekarang ini, bahkan ini sudah menjadi ijma’ sahabat dan semua ulama’ madzhab, Syafi’I, Hanafi, Hanbali dan mayoritas Madzhab Maliki, karena dalam Madzhab Malikyi ini masih ada khilaf, seperti hadist yang diriwayatkan dari Imam Malik bin Anas ra, Imam darul Hijroh Madinah yang berpendapat bahwa shalat tararawih itu lebih dari 20 roka’at sampai 36 roka’at. Adapun hadist Malik bin Anas adalah sebagaimana berikut: Beliau berkata; “Saya dapati orang-orang melakukan ibadah malam di bulan Ramadlan “yakni shalat tarawih” dengan tiga puluh sembilan roka’at yang tiga adalah sholat Witir”.

Dan Imam Malik sendiri memilih 8 rokaat namun secara mayorits Malikiyyah yaitu sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah yang telah sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20 roka’at, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat dan sempurna ijma’nya.

Shalat Tarawih Pada Masa Sahabat Abu Bakar Ra.
Shalat tarawih Pada masa Kholifah Abu Bakar ra. Umat Islam melaksanakan shalat sendiri-sendirian atau berkelompok ada 3 ada 4 dan ada yang 6 orang.

Pada masa kholifah Abu Bakar shalat tarawih dengan satu imam di masjid belum ada, sehingga pada masa tersebut roka’at shalat tarawihpun belum ada ketetapan yang secara jelas, karena para shahabat ada yang melaksanakan shalat 8 roka’at kemudian menyempurnakan di rumahnya seperti pada keterangan di awal.
Shalat Tarawih Pada Masa Sahabat Umar Ra.

Setelah sayyidina umar mengetahui umat Islam shalat tarawih dengan sendiri-sendirian, barulah muncul dalam pikirannya untuk mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih di dalam masjid dengan satu imam, sebagaimana keterangan dibawah ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا النَّاسُ فِي رَمَضَانَ يُصَلُّونَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا هَؤُلَاءِ ؟ فَقِيلَ: هَؤُلَاءِ نَاسٌ لَيْسَ مَعَهُمْ قُرْآنٌ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي وَهُمْ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابُوا وَنِعْمَ مَا صَنَعُوا (رواه أبو داود)

Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, beliau berkata: “Rasulullah saw keluar di bulan Ramadlan, beliau melihat banyak manusia yang melakukan shalat tarawih di sudut masjid, beliau bertanya, “Siapa mereka?” kemudian di jawab: “Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai al-Qur’an (tidak bisa menghafal atau tidak hafal al-Qur’an), dan sahabat Ubay bin Ka’ab sholat mengimami mereka, lalu Nabi berkata: “benar mereka itu, dan sebaik-baiknya perbuatan adalah yang mereka lakukan”. (HR: Abu Dawud).

Kemudian Sahabat Umar berinisiatif mengumpulkan para sahabat shalat Tarawih dalam satu Masjid dengan satu imam. Sebagaimana keterangan:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (رواه البخاري)

Artinya: “Dari ‘Abdirrohman bin ‘Abdil Qori’ beliau berkata; “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khatthab ra ke Masjid pada bulan Ramadlan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjama’ah”. Lalu Sayyidina Umar berkata: “Saya punya pendapat andai kata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni shohabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan sholat tarawih dengan berjama’ah di belakang satu imam. Umar berkata: “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR: Bukhari).

Dari sini sudah sangat jelas bahwa pertama kali orang yang mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan tarawih dengan cara berjama’ah adalah sahabat Umar ra, sedangkan jama’ah shalat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan 20 roka’at. Sebagaimana keterangan:

عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ , قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه مالك)

 “Dari Yazid bin Ruman telah berkata: “Manusia senantiasa melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadlan sebanyak 23 rokaat“. (HR. Malik)

Yang dimaksud 23 roka’at adalah, melaksanakan shalat Tarawih 20 roka’at dan witir. Dengan bukti hadist yang diriwayatkan Sa’ib bin Yazid:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (راه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ)

Artinya: “Dari Saaib bin Yazid berkata: “para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadlan sebanyak 20 roka’at”. (HR. Al-Baihaqi).

Dua dalil di atas sangat jelas sekali menjelaskan jumlah bilangan shalat tarawih 20 roka’at, dalil tersebut juga dikuatkan dengan perilaku para shahabat yang telah mengikutinya bahkan Sayyidah ‘Aisyahpun juga mengikuti, hal ini telah menunjukkan menjadi ijma’ sahabat karena tiada satu orangpun yang mengingkari atau menentang, begitu juga para ulama’ empat madzhab atau madzhab lainnya. Jadi shalat tarawih 20 roka’at ini sangat jelas dan harus kita ikuti karena ini adalah sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang harus kita ikuti, dan Sayyidina Umar adalah juga salah satu sahabat yang telah diakui kebenarannya oleh Nabi. Sebagaimana sabda Nabi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ  قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ (رواه الترمذي)

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati umar”. (HR. Turmudzi).

Dan Hadist Nabi SAW:


وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَقَالَ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ)

Artinya: “Dan sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “maka ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan pentunjuk setelah aku meninggal, maka berpegang teguhlah padanya dengan erat”.

Dan Hadist Nabi SAW:

عَنْ حُذَيْفَةُ هُوَ الَّذِي يَرْوِي عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ( أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ)

Artinya: “Dari Hudzaifah ra ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda; “ikutilah dua orang setelahku, yakni abu bakar dan ‘Umar”. (HR. Turmudzi).

Shalat Tarawih Menurut Pandangan Ulama’

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ إلَى أَنَّ التَّرَاوِيحَ عِشْرُونَ رَكْعَةً لِمَا رَوَاهُ مَالِكٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ مِنْ قِيَامِ النَّاسِ فِي زَمَانِ عُمَرَ رضي الله تعالى عنه بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ عَلَى هَذَا الْعَدَدِ مِنْ الرَّكَعَاتِ جَمْعًا مُسْتَمِرًّا قَالَ الْكَاسَانِيُّ: جَمَعَ عُمَرُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله تعالى عنه فَصَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَيَكُونُ إجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ. وَقَالَ الدُّسُوقِيُّ وَغَيْرُهُ: كَانَ عَلَيْهِ عَمَلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ. وَقَالَ ابْنُ عَابِدِينَ: عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ شَرْقًا وَغَرْبًا. وَقَالَ عَلِيٌّ السَّنْهُورِيُّ: هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ وَاسْتَمَرَّ إلَى زَمَانِنَا فِي سَائِرِ الْأَمْصَارِ وَقَالَ الْحَنَابِلَةُ: وَهَذَا فِي مَظِنَّةِ الشُّهْرَةِ بِحَضْرَةِ الصَّحَابَةِ فَكَانَ إجْمَاعًا وَالنُّصُوصُ فِي ذَلِكَ كَثِيرَةٌ. (الموسوعة الفقهية . ج 27 ص 142)

Artinya: “Maka menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama’ Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabillah, Dan sebagian malikiyyah, bahwa shalat tarawih adalah 20 roka’at, karena pada hadist yang telah diriwayatkan Malik bin Yazid bin Ruman dan Imam al-Baihaqyi dari Saib bin Yazid tentang shalatnya umat Islam di masa Sayyidina Umar bin Khatthab ra dengan 20 roka’at, dan Umar mengumpulkan manusia untuk melakukan tarawih 20 roka’at dengan jama’ah (golongan) yang terus menerus sampai sekarang. Imam As-Sakakyi berkata: Umar telah mengumpulkan para sahabat Rasulullah saw pada Ubay bin Ka’ab ra, kemudian Ka’ab sholat mengimami mereka 20 roka’at, dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya, maka hal itu sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) mereka. Dan Imam Ad-Dasukyi berkata: dan itu yang dilakukan shohabat dan tabi’in, dan Imam Ibnu ‘Abidin berkata: itu adalah yang dilakukan manusia mulai dari bumi timur sampai bumi barat, dan ‘Ali As-Sanhuryi berkata: itu adalah yang dilakukan manusia sejak dulu sampai masaku dan masa yang akan datang selamanya, dan berkata ulama’ Hanabilah: “ini telah yaqin terkenal (mashur) di masa para sahabat, maka ini merupakan ijma’ dan banyak dalil-dali Nash yang menjelaskanya.

Imam Ibnu Taimiyyah dan Syekh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahab juga menegaskan sebagaimana berikut:
Keterangan yang terdapat dalam sebuah kitab “Tashhih Hadistis Sholah At-Tarawih Isriina Roka’ah “ . Imam ibnu Taimiyyah juga sepakat dan berpendapat, bahwa rok’at shalat tarawih 20 rika’at, dan beliau menfatwakan sebagaimana berikut, Artinya: Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam fatwanya, “Telah terbukti bahwa sahabat bin Ubay bin Ka’ab mengerjakan sholat Ramadlan bersama-sama orang pada waktu itu sebanyak 20 roka’at, lalu mengerjakan Witir 3 roka’at, kemudian mayoritas Ulama’ mengatakan bahwa itu adalah sunnah. Karena pekerjaan itu dilaksanakan di tengah-tengah kaum Muhajiriin dan Anshor, dan tidak ada satupun diantara mereka yang menentang atau melanggar perbuatan itu”. Dan di dalam kitab “Majmu’ Fatawyi Al-Najdiyyah” diterangakan tentang jawaban Syekh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahab tentang bilangan roka’at shalat tarawih. Ia mengatakan bahwa setelah sahabat Umar mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat berjama’ah kepada sahabat Ubay bin Ka’ab, maka sholat yang mereka lakukan adalah 20 roka’at”.

Niat Shalat Tarawih

أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مَأْمُوْمًا / إِمَامًا للهِ تَعَالَى. الله أكبر….

Doa Setelah Sholat Taraweh

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِاْلإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِفَرَائِضِكَ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ وَعَنِ اللَّهْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِي اْلأَخِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَآءِ رَاضِيْنَ وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ وَتَحْتَ لِوَآءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَإِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ وَعَلَى سَرِيْرَةِ الْكَرِيْمَةِ قَاعِدِيْنَ وَمِنْ حُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ وَمِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتِبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. دَعْوَاهُمْ فِيْهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيْهَا سَلاَمٌ وَأَخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِيْ لَيْلَةِ هَذَا الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَآءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا وُضُوْئَنَا وَصَلاَتَنَا وَقِيَامَنَا وَقِرَائَتَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَقُعُوْدَنَا وَتَسْبِيْحَنَا وَتَهْلِيْلَنَا وَتَمْجِيْدَنَا وَخُشُوْعَنَا وَتَضَرُّعَنَا وَلاَ تَضْرِبْ بِهَا وُجُوْهَنَا يَا إِلَهَ الْعَالَمِيْنَ وَيَا خَيْرَ النَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ.

Niat Sholat Witir

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامًا / مَأْمُوْمًا للهِ تَعَالَى. الله أكبر ….
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَةً إِمَامًا / مَأْمُوْمًا للهِ تَعَالَى. الله أكبر ….

Dzikir Setelah Shalat Witir

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ×3 . سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ.

Doa Setelah Shalat Witir

اَللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ: اللَّهُمَّ عَذِّبِ الْكَفَرَةَ أَهْلَ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِك , وَيُكَذِّبُونَ رَسُولَكَ، وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَاءَكَ، وَيَدِيْنُوْنَ دِينًا غَيْرَ دِينِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ , وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِمْ الْإِيمَانَ وَالْحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ عَلَى مِلَّةِ رَسُولِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَوْزِعْهُمْ أَنْ يُوْفُوا بِعَهْدِك الَّذِي عَاهَدَتْهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّك وَعَدُوِّهِمْ إلَهَ الْحَقِّ فَاجْعَلْنَا مِنْهُمْ. (اللَّهُمَّ إنَّك عَفْوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنَّا يَاكَرِيمْ ×3)

Memadukan Ilmu dan Amal


Ilmu adalah karunia paling berharga yang diberikan Allah kepada manusia. Kemuliaan ilmu ini banyak ditegaskan oleh Al-Qur'an maupaun hadis Rasulullah SAW seperti hadis yang mewajibkan seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, atau keharusan menuntut ilmu dari sejak manusia dilahirkan hingga meninggal dunia (long life education).

Sedangkan ilmu tidak dapat dikatakan ilmu jika ia tidak dihubungkan dengan amal perbuatan manusia. Rasulullah SAW mengibaratkan hubungan ilmu dan amal ini dengan pohon dan buahnya. Jika ilmu adalah sebatang pohon maka amal adalah buahnya. Jika ilmu tidak disertai dengan amal kebajikan maka ilmu tersebut tidak banyak berguna laksana pohon yang tak berbuah.

Dalam kitab Ta`limul Muta`allim, Syekh az-Zarnuji,  menerangkan bahwa banyak sekali umat Islam di masanya yang mengalami kegagalan dalam menuntut ilmu. Kegegalan yang dimaksud bukanlah kegagalan lulus atau tidak lulus dalam ujian sekolah. Akan tetapi lebih jauh lagi merupakan kegagalan sebab tidak dapat menjadikan ilmu yang diperoleh bermanfaat bagi masyarakat luas. Dengan kata lain, ilmu yang tidak dapat dipetik buahnya.

Menurut Syekh Zarnuji, kegagalan ini disebabkan oleh kekeliruan motivasi menuntut ilmu (niat), memilih disiplin ilmu, guru dan teman, kurangnya penghormatan terhadap guru dan orang yang berilmu, kemalasan dalam belajar, kurangnya ibadah dan rendahnya sikap tawakkal (berserah diri kepada Allah),  wara` (menjauhi makan barang haram), zuhud (melepaskan ketergantungan terhadap materi). Sementara seluruh hal di atas merupakan syarat-syarat dan jalan yang dibutuhkan oleh setiap pelajar dalam mencapai ilmu pengetahuan yang diridhai Allah SWT.

Dari syarat-syarat keberhasilan mendapatkan ilmu di atas, terlihat jelas bahwa sebenarnya pendidikan dalam Islam memberikan perpaduan yang indah antara ilmu dan amal. Bersendikan pada kesungguhan dalam mengasah potensi intelektual dan keikhlasan dalam beramal.

Barangsiapa yang berhasil memenuhi syarat-syarat dan benar dalam cara menuntut ilmu niscara mereka akan tercerahkan hati dan pikirannya. Mereka akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri juga bagi masyarakt luas serta akan selalu berada di bawah petunjuk Allah SWT.

Sebaliknya mereka yang meninggalkan syarat-syarat yang diperlukan dalam menuntut ilmu dan belajar dengan jalan yang salah maka sudah dapat dipastikan mereka akan mengalami kegagalan dalam memadukan antara ilmu dan amal. Dalam dunia pendidikan Islam terdapat sebuah slogan yang sangat populer:

”Man zada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan.” Artinya: Barangsiapa yang bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah petunjuknya maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah.