Prof. DR. M. Quraish
Shihab: "Siapa yang tidak mengagungkan Imam Husain maka diragukan
keimanannya."
Kita tidak dapat
menjangkau seluruh makna arba’în. Kita tidak tahu persis mengapa angka 40 hari
itu yang dipilih; bukan 30, bukan 20, bukan juga 100. Tapi yang jelas angka 40
disebut di dalam Al-Quran sebanyak empat kali.
Nabi Musa AS tadinya
dijanjikan untuk “bertemu” dengan Allah, tapi kemudian Allah menyempurnakannya:
…Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam (QS.
Al-A’râf [7] : 142). Seorang manusia oleh Al-Quran juga dinyatakan bahwa
manusia mencapai kesempurnaannya. Hatta idzâ balagha asyuddahu wa balagha
arba’în sannah (QS. Al-Ahqâf [46] : 15). Bani Israil pun yang dihukum Tuhan,
disebutkan bahwa mereka dihukum Tuhan tersesat selama 40 tahun.
Dalam hadis-hadis pun
kita temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun,
mengakui sabda Nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan
memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.”
Karena itu dari kalang Sunni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun
Al-Arba’în An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis
40 hadis pilihan.
Kita menemukan di
dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan “Barang siapa yang shalat 40
kali—dalam riwayat lain 40 hari—di Madinah Rasul, maka ia terbebas dari
kemunafikan.” Kita menemukan misalnya dalam hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi
setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah
angka kesempurnaan. Jika demikian kalau kita memperingati tokoh yang telah
berlalum, yang kita ingin teladani pada masa keempatpuluhnya, maka sebenarnya
salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan keteladan kita kepada beliau.
Hal kedua yang ingin
saya garis bawahi adalah, Allah SWT memerintahkan kita untuk merenung.
Berulang-ulang dalam Al-Quran, tidak kurang 200 kali, kata “merenung”, “mengingat”
terulang di dalamnya. Banyak hal yang perlu direnungkan. Sejak dulu misalnya,
Allah berpesan kepada Nabi Musa agar mengingatkan kaummya: Wa dzakkirhum bi
ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (QS. Ibrâhîm [14] : 5),
maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari Allah adalah hari gugurnya
Sayyidina Husain.
Saya terkadang
berpikir, kalau unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâhsya’âirillâh?
Kalau Ka’bah, al-hadya, al-qalâid (binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk
disembelih saat haji), semua dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran
rasanya kalau ada tokoh, baik yang disebut di dalam Al-Quran maupun yang tidak,
selama dia tokoh, heran kalau dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari
sya’âirillâh. (bagian dari syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat
menjadi salah satu dari
Seperti kita baca
dalam Al-Quran: Barang siapa yang mengagungkan sya’âirillâh (syiar-syiar Allah)
maka sesungguhnya itu adalah tanda ketakwaan dari hati (QS. Al-Hajj [22] : 32).
Itu sebabnya kita merayakan maulid Nabi, itu sebabnya kita mengagungkan
tokoh-tokoh. Itu sebabnya sebagaimana kita bergembira dengan kelahiran Nabi
Muhammad, sebagaimana kita menyambut tokoh-tokoh yang kita agungkan, kita pun
wajar bersedih dalam batas-batas yang dibenarkan agama, dengan kepergian siapa
yang mesti kita cintai.
Syi’âr – sya’âir –
sya’irah seakar dengan kata syu’ûr, rasa. Setiap yang menjadi syiar mesti
menimbulkan rasa. Ketika pada hari Idul Adhha misalnya, kita melihat kambing,
domba atau sapi yang dijadikan syiar oleh Allah, maka ketika itu dia tidak
menjadi syiar kalau dia tidak menjadi tanda kebesaran Allah dan tidak timbul di
dalam hati Anda rasa kekaguman akan kebesaran Allah. Ketika kita menjadikan
seorang tokoh sebagai syiar, maka harus timbul rasa di dalam hati Anda. Rasa
hormat, rasa kagum dan boleh jadi rasa menyesal kenapa kita tidak hidup pada
masa beliau (Imam Husain) dan ikut berjuang bersama beliau.
Hal ketiga yang ingin
saya kemukakan, mengapa kita mengagungkan Sayyidina Husain? Tentu akan sangat
panjang uraian kalau kita berbicara tentang beliau. Kita hanya bisa menunjuk
dengan jari telunjuk; kita tidak dapat merangkul semua dari keistimewaan
beliau. Untung kata orang menunjuk ke suatu gunung yang tinggi terkadang lebih
mampu untuk menggambarkannya dari pada usaha kedua lengan untuk merangkul dunia
ini. Kita hanya ingin menunjuk dan menyinggung sedikit dari banyak yang diakui
oleh seluruh muslim, apapun mazhabnya baik Sunni atau Syiah, dan yang terdapat
dalam semua kitab menyangkut Sayyidina Husain.
Pertama, beliau dan
Sayyidina Hasan adalah Sayyid Syabâb Ahli Jannah (Pemimpin Pemuda Penghuni
Surga), semua mengakui. Ada hal yang menarik dari dua sosok agung ini. Sepintas
terlihat bahwa kepribadiannya bertolak belakang. Sayyidina Hasan mau damai,
Sayyidina Husain revolusioner. Kelihatannya bertolak belakang, tapi sebenarnya
tidak bertolak belakang. Semua bersumber dari didikan ayah beliau, Sayyidina
Ali bin Abi Thalib, dan semua yang dari Imam Ali bersumber dari Rasulullah SAW.
Semua diajarkan untuk membela agama dan mempertahankannya sambil melihat
kondisi yang sedang dialami.
Kondisi yang dihadapi
oleh Imam Hasan sudah berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Imam Husain.
Ketika masa Sayyidina Hasan diperlukan kedamaian yang bersyarat. Tetapi ketika
kedamaian yang bersyarat itu ternodai, situasi berubah dan tampillah Sayyidina
Husain. Ketika Sayyidina Hasan “bersedia” menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah
itu menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpikir untuk suatu kekuasaan. Kalau
begitu, ketika Sayyidina Husain bersedia gugur walau dengan memberi pilihan
kepada pengikutnya untuk mundur ketika dikepung, beliau juga dalam
perjuangannya bukan menuntut kekuasaan. Yang beliau inginkan ketika itu adalah
syu’ûr, rasa, kepekaan terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya. Yang beliau
inginkan ketika itu adalah tumbuh suburnya ajaran ini yang sejak masa ayah
beliau sudah mulai menjauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasul. Bahwa beliau
tidak menghendaki kekuasaan itu sebenarnya adalah ajaran Sayyidina Ali.
Abbas Al-Aqqad,
seorang ulama Mesir yang diakui otoritas keilmuannya, menulis dalam buku
Abqarîyat ‘Ali mengatakan bahwa kendati Sayyidina Ali merasa bahwa beliau wajar
untuk menjadik khalifah setelah Rasul, tetapi beliau tidak ingin menuntut itu
sebelum umat menyerahkannya kepada beliau. Ditulis oleh ulama-ulama Syiah,
salah satunya di dalam buku Ashlu Syî’ah wa Ushulihâ, bahwa Sayyidina Ali
menerima kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Umar, kepimpinan dalam urusan
kenegaraan karena beliau melihat bahwa apa yang dilakukannya sudah sesuai
dengan jalan Rasulullah. Walaupun dalam buku itu dikatakan beliau tidak
menyerahkan soal imamah keagamaan. Sekali lagi saya ingin katakan, ketika
Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain dan sebelumnya Sayyidina Ali, beliau tidak
pernah berpikir untuk duduk sebagai penguasa. Ini ‘kan suatu ajaran yang perlu
kita camkan sekarang ini.
Hal terakhir yang
saya ingin kemukakan dalam konteks berbicara tentang Imam Husain adalah bahwa beliau,
menurut Nabi SAW, adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, penghulu, tokoh yang terutama dari
para syuhada. Saya tidak ingin membatasi pengertian syuhada itu hanya dalam
arti orang yang gugur membela agama. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahîd.
Syahid itu kata yang patronnya bisa berarti objek dan bisa berarti subjek.
Syahâdah adalah kesaksian. Kalau dia berarti subjek maka syahîd berati yang
menyaksikan, kalau dia berarti objek berarti bahwa beliau yang disaksikan.
Keguguran dan darah
yang terpancar memang menjadi saksi akan ketulusan perjuangan beliau. Tapi
karena kita tidak ingin membatasi arti syahadah hanya pada pengertian gugur di
medan juang, itu juga berarti ketika kita menjadikan beliau sebagai syahîd
(yang disaksikan), berarti kita ikut menyaksikan dihadapan Allah berdasarkan
pada pengetahuan kita bahwa beliau tokoh dan di sisi lain kita menyaksikan
beliau sebagai teladan kita dalam hidup. Itu sebabnya dalam Quran disebutkan:
Wa kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasatha litakûnû syuhadâ ‘alâ an-nâs wa yakûna
ar-rasûl ‘alaikum syahîda. Dan Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan
agar kamu menjadi teladan-teladan atas manusia, sedang Rasul adalah teladan
kamu (QS. Al-Baqarah [2] : 143)
Ketika Rasul
menyatakan bahwa Imam Husain adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, maka jangan batasi
pengertian itu hanya pada keguguran beliau, tapi jadikanlah beliau teladan
dalam segala apa yang beliau lakukan. Beliau berjuang, beliau mengorbakan jiwa
raga untuk nilai-nilai agar dapat lebih dirasakan oleh umat. Itu sebabnya beliau
adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ. Mudah-mudahan kita dapat mengambil sedikit teladan
dari apa yang telah dipersembahkan Sayyîd Asy-Syuhadâ. Sekali lagi kita kagum,
kita mengagungkan beliau, kita tidak perlu berkata bahwa perjuangan beliau
gagal, tapi justru perjuangan beliau amat berhasil, jauh lebih berhasil
dibanding kalau beliau tidak gugur.
Mengapa saya berkata
begitu? Karena kita tidak pernah berkata bahwa hidup ini hanya di dunia; kita
berkata hidup di dunia ini adalah perjuangan sepanjang masa. Kita perlu
teladan-teladan yang baik, dan keteladan Imam Husain itu berlanjut hingga
sekarang. Itu sebabnya tadi dikatakan sampai sekarang masih jutaan orang
berkunjung ke Karbala, sampai sekarang saya tahu persis di Mesir, Masjid Imam
Husain itu dikunjungi orang; yang berkunjung bukan hanya orang Syiah tapi juga
Sunni yang mengelilingi bagaikan bertawaf di sana. Mengagungkan Imam Husain
karena perjuangannya sehingga kita dapat berkata, “Siapa yang tidak
mengagungkan beliau (Imam Husain) maka diragukan keimanannya.” Aqûlu qauli
hadzâ wastaghfirullâh lî walakum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar